Like This Yo...

Minggu, 09 November 2008

KATA YANG SUDAH TIDAK DIGUNAKAN DALAM KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA TERBITAN BALAI PUSTAKA (HURUF M DAN N)

KATA YANG SUDAH TIDAK DIGUNAKAN

DALAM KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA TERBITAN BALAI PUSTAKA

(HURUF M DAN N)


M


Mabul- mabul : Keadaan berantakan (seperti Kapuk, rambut)

Ma cat : Macet

Macis : Korek api

Madani : Berhubungan dengan hak-hak sipil

Madar : Tidak berperasaan

Madar : Menara tempat orang berjaga, dinding atau tempat di atas menara, diberi lubang-lubang untuk mengintai

Madau : Alat bunyi-bunyian

Madik : Utusan pihak laki-laki untuk melamar gadis

Mado : Sistem klan di Nias, bersifat patrineal

Madras : Kain sutra atau kain katun yang ulet

Maduraka : Kain sutra berbenang warna emas

Maesan : Nisan

Mag : Lambung

Magalah : Pasukan pengawal istana yang bersanjata tombak

Magandi : Pasukan pengawal istana yang bersanjata pemukul

Magel : Setengah masak (belum matang benar)

Magenta : Merah keungu-unguan

Magersari : Orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain

Magi : Sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib

Magistrat : Pemerintahan negeri

Maglub : Sesuatu yang dikalahkan

Magobi : Mahoni

Magrur : Sombong, Angkuh

Magun : Atap pelindung, atau rumah-rumahan pada perahu

Mahapatih : Patih yang berkuasa

Maharana : Perang besar

Maharani : Raja perempuan

Mahardika : Berilmu, cerdik, pandai, bijak

Mahatma : Jiwa besar

Mahatur : Sebutan untuk salah satu istri raja

Mahla : Inti, sumber

Mahimahi : Ikan Laut

Mahmud : Yang berbunyi

Mahsul : Hasil

Maldo : Mencela karena tidak percaya

Mairat : Hilang, pergi

Majakaya : Tidak tersambung

Majal : Tumpul, tidak tajam

Majedub : Manusia pilihan tuhan yang merasa bahwa tuhan seakan berada di sisinya

Majenun : Kemasukan jin

Majer : Majin, tidak beranak, mandul

Majong : Kain untuk menggosok mesin

Majuh : Lahap, rakus

Majun : Potongan sisa bahan

Majung : Serat dsb untuk menyumbat sela-sela papan

Majusi : Pengikut agama penyembah api

Mak : Ibu

Maksi : Berukuran sampai mata kaki

Maksum : Terbagi, terpisah

Maktab : Tempat belajar

Maktub : Tertulis, tercantum

Makul : Menurut akal

Makurung : Hukuman berupa tahanan rumah selama 15 hari karena tidak ikut serta dalam kerja bakti

Makzul : Berhenti memegang jabatan, turun tahta

Mala : Bencana, celaka, sengsara

Malabau : Bau tidak sedap

Malagandang : Melarikan gadis dengan paksa untuk dikawini

Malai : Untaian (bunag, butir padi)

Malaise : Keadaan lesu dan serta sulit (bidang ekonomi)

Malakat : Kerajaan

Malakut : Kerajaan yang besar, kekuasaan

Malan : merasa kurang senang

Malap : Suram

Malar : Terus-menerus

Male : Sebutan bagi wanita yang mandul

Malih ; berubah, bertukar

Malka : Tempat bertemu

Malum : terkutuk, kena laknat

Malung : Mug besar

Mamai : Seperti hilang ingatan

Mambang : Warna kuning kemerah – merahan di sebelah barat ketika matahari mulai terbenam

Mambek : Tidak mengalir

Mambu : Berbau, basi

Mampung : Ringan dan berongga-rongga

Manai : Putih pucat

Manakala : Kata penghubung untuk menandai syarat

Manakan : bagaimana akan boleh

Manau : Rotan besar

Manda : Mau atau tahan

Madah : Daun atau kulit yang ditaruh di lesung

Mandai : Melamar gadis yang dilakukan sendiri oleh pemuda

Mandam : Berasa pusing karena mabuk

Mandeh : Ibu

Mandil : sapu tangan

Mandril : Kera besar

Mandung : Ayam jantan

Mangap : Membuka mulut, menganga

Manggah : Sesak napas

Manggung : Berkicau

Mangkak : Besar hati, bangga

Mangkar : Keras, tidak bisa menjadi lunak

Mangkus : Manjur, berhasil guna

Manjeri : Mengangkat ahli waris dari keturunan laki-laki

Manjung : Suluh atau obor besar

Manol : Orang yang bekerja pada orang lain untuk mengangkat barang

Mantik : Cara berfikir yang hanyan berdasarkan pikiran belaka

Manut : Suka, menurut

Mara : Bencana, bahaya

Marbut : Penjaga dan pengurus masjd

Merem : Puas hati, senag

Manu : Hantu yang suka mengganggu

Masit : Utuh dan padat

Maskanat : Kemiskinan

Masygul : Bersusah hati karena suatu sebab

Mathum : Sudah paham

Matlak : Daerah tempat terbitnya matahari

Matsadah :Kebiasaan, kejahatan, perbuatan jahat

Maujud : Benar-benar ada, hanya

Maula : Tuan

Mau-mau : Pisang

Mayeng : terus-menerus

Mbeling : Nakal

Medit : Kikir, pelit

Melit : Selalu ingin tahu segala-galanya

Memalangi : menghalangi jalan

Memble : Terkelepai kebawah (bibir)

Memedi : Makhluk halus

Menak : Orang termormat

Mengi : Penyakit sesak napas

Mengkis : berteriak

Mentas : keluar dari air

Menteleng : Membuka mata selebar-lebarnya

Mentis : Bertunas

Merajak : Tumbuh subur

Merawan : Pohon tinggi besar

Merduk : Barang atau harta benda yang tidak berharga

Mereng : Miring

Merih : Tenggorokan, pembuluh napas

Milad : Waktu kelahiran

Mileu : Lingkungan

Misai : Bulu rambut diatas bibir atas

Moblong : Terbuka lebar

Moler : Pelacur

Moncor : Mengalir keluar

Monyos : Mendapat malu

Mores : Adat sopan santun

Mosi : Keputusan Sapat

Muas : Menjadi encer

Mubut : Mudah patah

Mudat : Perpanjang



N


Nabu : Biji Buah (durian, nangka, cempedak) dan daging buah.

Naf : Pusat roda yang berbentuk silinder, berlubang, dilalui poros, dan dipasangi jari-jari roda.

Nabak : Bangkit (perasaan, selera, dsb)

Nahi : Isi yang dilarang

Nyak : Bertambah besar

Naim : Nyaman, nikmat, senang

Najam : Bintang

Najasah : Kecemaran

Najasat : Najasah

Nail : Satuan ukuran isi (beras dsb) 16 gantang atau 1/50 koyan

Nalih : Nail

Namatium : Komunitas selokan

Nampal : Napal

Nanang : Memikirkan sesuatu dalam-dalam; merenung.

Nanap : Terbuka lebar-lebar (mata); melihat dengan mata tidak berkedip; terbeliak

Nang : Nan; yang

Napal : Tanah liat merah yang dapat dimakan sebagai obat; ampo.

Nara : Orang

Narapati : Raja

Narapraja : Raja

Narawastu : Narwastu

Narestu : Narwastu

Narpati : Narapati

Nasakh : Menghapuskan; menghentikan

Nasut : Raja; baginda; sang

Natura : Barang yang sebenarnya bukan dibentuk uang (pembayaran)

Nau : Enau

Nawa : Sembilan

Nawala : Lembaran cetakan berupa pamflet atau surat kabaryang diterbitkan pada waktu-waktu tertentu yang berisi tentang perkembangan perusahaan

Nawalapatra : Karangan, tulisan, perbuatan

Nawalapradata : Nama buku tentang hukum keraton (kerajaan

Nawastu : Narwastu

Nayaga : Niyaga

Nayaka : Menteri

Nayam : Tenggala; mata bajak

Nayap : Mencuri pada siang hari

Nazim : Pengarang, penyair

Nazir : Penyampai berita duka

Neala : Cuping pada sayap belakang serangga

Neces : Necis

Negosi : Perdagangan; perniagaan

Nenar : Nanar

Nenda : Nenenda

Naraksara : Melanggar peraturan

Nestor : Orang tua yang bijak

Ngalau : Gua

Ngaral : Lembah (jurang) yang dalam dan luas diantara dua tebing yang curam

Ngeang : Melihat hantu

Ni : Kata sapaan untuk wanita yang belum kawin; nona

Nidera : Tidur (nyenyak); kantuk

Nik : Sapaan untuk gadis kecil

Nilam : Ketilang

Ninik : Nenek

Nisbah : Perhubungan keluarga; nama yang menyatakan seketurunan

Nisbi : Hanya terlihat (pasti; terukur) kalau dibandingkan dengan yang lain; dapat begini atau begitu; bergantung kepada orang yang memandang; tidak mutla; relatif

Niskala : Tidak berwujud; tidak berbeda; mujarad; abstra

Nomad : Kelompok orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, biasanya pindah pada musim tertentu ke tempat tertentu sesuai dengan keperluan kelompok itu.

Non : Biarawati

Non : Lihat kaum

Nona : Makan sirih; tanaman perdu kecil dan pendek, merambat, bunganya berkelopak besar, putih berubah menjadi merah keunguan apabila menjadi buah, berguna sebagai tanaman hias

Nonhis : Tidak bersifat

Nonoh : Senonoh

Num : Ikan yang besar

Nutfah : Mani (benih manusia)

Nyah : Enyah

Nyalar : Selalu

Nyamur : Embun

Nyang : Yang

Nyanyu : Selalu berkata yang bukan-bukan, merepek, menyanyah

Nyarik : Nyaring

Nyinyir : Mengulang-ulang printah atau permintaan

Nyiru : Alat rumah tangga, berbentuk bundar, dibuat dari bamboo yang dianyam, gunanya untuk menempi beras dsb

Nyonyol : Suka berbicara; banyak bicara

Nyolo : Perasapan, pendupaan

Nyonyot : Nyunyut

Nyungsung : Mudah kerasukan (roh dsb) atau tidak sadarkan diri

Nyunyut : Menyunyut; menarik panjang-panjang; menjujut; menghela

Nyunyut : Bergerak turun naik (ubun-ubun bayi)

Nyunyut : Mengulum dan menghisap (permen, tetek, dsb)





Bahasa Daerah Versus Bahasa Indonesia

Bahasa Daerah Versus Bahasa Indonesia



Apakah anda pernah membaca usulan Rancangan Undang-undang Kebahasaan ? jika sudah apa tanggapan anda ?

Dalam perkembangannya Negara republik Indonesia kita tercinta ini mulai mengkhawatirkan keadaan bahasanya. Begitulah kira-kira alasan dibentuknya RUU Kebahasaan, sebagai dewa penyelamat bahasa Indonesia yang sudah mulai timbul tenggelam. Betapa tidak, remaja era sekarang sudah lupa nasionalisme mereka terutama dengan bahasa mereka. Pernah dengar bahasa gaul ? itulah bahasa tandingan terbesar bagi bahasa Indonesia dan inilah yang menjadi musuh terbesar bagi nasionalisme.

Untuk mengantisipasi kurangnya filterasi dalam bahasa Indonesia, pemerintah mencoba untuk membendungnya dengan diadakannya RUU Kebahasaan yang dibicarakan di Semarang kurang lebih satu tahun lalu. Dalam RUU Kebahasaan ini berisi banyak sekali pasal-pasal yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia dan tata cara pemaakaiannya di negara asing atau pada media.

Dalam beberapa pasal RUU ini memang mengambil langkah yang tepat, contohnya dalam media harus menggunakan bahasa Indonesia dengan tepat dan mengurangi pemakaian bahasa yang ambigu, tapi pada pasal yang menyinggung bahasa daerah ada sedikit kontroversi. Pemakaian bahasa daerah dibatasi dalam RUU Kebahasaan ini, penggunaanya hanya dapat dipakai pada situasi keseharian dan bukan pada saat resmi. Dengan adanya pasal yang mengatur bahasa daerah ini, RUU Kebahasaan berkesan menghambat perkembangan bahasa daerah.

Pada hakikatnya bahasa Indonesia sendiri terbentuk berdasarkan keikutsertaanya bahasa daerah dalam membentuk bahasa Indonesia yang semula adalah bahasa melayu. Jika sudah begini pemerintah seakan seperti kacang lupa pada kulitnya. Hal ini karena bahasa Indonesia merupakan bahasa tingkat nasional yang berasal dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia dan bahasa asing (Menurut Mahmud Jauhari Ali dalam sripsinya yang berjudul Bahasa Indonesia, Film Nasional, dan Generasi Bangsa)

Dalam satu sisi, bahasa daerah merasa memiliki hak untuk berkembang sebagai bentuk pelestarian budaya, seperti kita ketahui jika bangsa Indonesia membanggakan kelestarian budayanya yang beragam. Dengan alasan pelestarian budaya Indonesia, segelintir orang yang mengetahui tentang keberadaan RUU kebahaaan ini menolak adanya RUU Kebahasaan selama masih ada pasal yang mengatur bahasa daerah tersebut.

Di sisi lain, bahasa Indonesia merasa perlu melindungi kelestariannya dan kemurniannya. Hal ini karena saat ini bahasa Indonesia tercampur-campur penggunaanya dan kehilangan pemakaiannya yang sesuai kaidah. Permasalahan ini juga ditanggapi oleh Mahmud Jauhari Ali yang berpendapat bahwa, “Dewasa ini, pemakaian bahasa Indonesia baik dalam kehidupan nyata maupun dalam dunia film mulai bergeser digantikan dengan pemakaian bahasa anak remaja yang dikenal dengan bahasa gaul. Dengan memakai bahasa gaul tersebut, pemakainya akan dikatakan sebagai orang kota yang modern dan bukan orang daerah yang kurang modern. Anggapan seperti ini jelas salah karena bahasa gaul tersebut sebenarnya sangat dekat dengan bahasa Betawi yang merupakan salah satu bahasa daerah di Indoensia”. Dengan anggapan Jauhari tadi menandakan bahwa bahasa daerah adalah salah satu penyebab rusaknya bahasa Indonesia.

Jika sudah seperti ini rasanya memang sesuai jika saya katakan bahwa bahasa daerah dan bahasa Indonesia sedang bertikai. Pada dasarnya hal ini terjadi karena jalannya globalisasi di Indonesia, dan bukankah itu sehat ? Dimana semua mesti berkembang sebagai bukti bahwa pengalaman dan pemikiran manusia sudah mulai bertambah. Untuk menanggapi masalah ini yang diperlukan hanyalah sebuah kedewasaan si pengguna bahasa dimana mereka dapat menempatkan diri dalam penggunaan bahasa dan dapat merasakan cinta tanah air, itu saja.


BETAPA BESAR PENGARUH LEKSIKON MAKNA SESEORANG TERHADAP DUNIA SASTRA

BETAPA BESAR PENGARUH LEKSIKON MAKNA SESEORANG TERHADAP DUNIA SASTRA

Oleh : Bayu Murdiyanto



Apakah anda sadar betapa jeniusnya anda dalam memproduksi bahasa yang nantinya digunakan dalam percakapan sehari-hari? Dalam keadaan normal, manusia memiliki kemampuan yang sangat cepat dalam menanggapi makna kata maupun dalam mengucapkannya sebagai tidakan menanggapi ujaran yang diterima. Hal ini memang menakjubkan karena jumlah kosakata yang dimiliki oleh orang dewasa luar biasa besarnya. Penelitian awal mengenai bahasa Inggris yang dilakukan Seashore dan Eckerton (1940 dalam Aitchison 1994: 5) menunjukan bahwa seorang yang terdidik (minimal dapat membaca dan menulis) dapat mengetahui lebih dari 150.000 kata dan mampu menggunakan 90 % dari jumlah ini. Penelitian yang lebih belakangan menunjukan bahwa mahasiswa Negara Inggris memiliki lebih dari 50.000 kosakata. Kosakata para siswa Amerika untuk membaca diperkirakan sekitar 40.000 dan bisa naik menjadi antara 60.000 sampai 80.000 bila nama diri, nama kota, dan ungkapan idiomatik juga diperhitungkan (Aitchison 1994: 7). Kalau kita ambil saja patokan 60.000, yakni, sisi rendah dari 50.000 dan 80.000, kecepatan orang dapat memahami kata sangatlah luar biasa. Dalam metode Shadowing (yakni, subjek diminta untuk meniru ujaran sambil mendengarkannya) didapati bahwa peniru dapat menirukan dengan selang waktu antara 250-275 milidetik.

Sebenarnya apa yang dimaksud leksikon makna? Dan apa hubungan antara penelitian di atas dengan judul dalam essai ini? Apa pula yang menjadikan leksikon makna begitu penting terhadap dunia sastra?

Leksikon makna dapat diibaratkan gudang dimana kita menyimpan barang. Akan tetapi, gudang ini bukan sembarang gudang karena tidak hanya barangnya yang disimpan itu unik, yakni, kata, akan tetapi cara pengaturannya juga sangat rumit. Kita bisa menemukan barang yang kita cari untuk berbagai macam permintaan yang masuk: permintaan itu bisa berupa bunyi, wujud fisik, wujud grafik, atau hubungan satu “barang” dengan “barang” lain. Seandainya gudang itu berisi barang-barang yang hanya ditaruh saja secara acak, padahal gudang itu berisi 60.000 macam barang, maka dapat dibayangkan bagaimana mungkin kita dapat menemukan apapun yang kita cari – dan dengan cepat.

Penelitian di atas menyatakan bahwa kemampuan manusia untuk mengolah kata baik ketika kata tersebut masih dalam bentuk ujaran lawan tutur kita sampai dipahami dan berubah bentuk menjadi ujaran dari tindakan kita sangatlah cepat walaupun melewati cara yang sangat rumit. Itu artinya kosakata yang kita dapati ketika kita bersentuh sapa dengan seseorang akan bertambah dengan sendirinya tanpa kita sadari dan kosakata yang kita dapati tersebut akan terakumulasi dalam memori kita yang disebut leksikon makna. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin sering kita bersentuhan sapa dengan orang banyak maka kosakata yang kita miliki akan semakin banyak dan tentunya ini akan memperbanyak variasi ujaran yang bisa kita produksi. Sebaliknya bila kita mempersempit jumlah sentuhan sapa kita dengan orang lain atau bisa dikatakan hanya dengan orang yang sama maka kemungkinan untuk banyaknya variasi ujaran akan semakin lambat.

Ini menandakan bahwa leksikon makna menjadi salah satu faktor dalam pembuatan sebuah karya sastra oleh seorang sastrawan. Seperi kita ketahui bahwa seorang sastrawan ketika membuat sebuah karya sastra memerlukan banyak varian kata yang banyak, hal itu dibutuhkan untuk memperindah rangkaian kata yang akan terbentuk nantinya. Dengan kata lain seorang sastrawan membutuhkan leksikon makna yang luas dan memerlukan sentuhan kosakata lebih banyak daripada orang biasa karena mereka harus dapat menyelaraskan banyak variasi kalimat.

Jadi jelas sudah mengapa leksikon makna dibutuhkan oleh seorang sastrawan dan sangat penting bagi dunia sastra.

Jumat, 01 Agustus 2008

KEPEDULIAN UNIVERSITAS PADJAJARAN KHUSUSNYA FAKULTAS SASTRA UNPAD TERHADAP BUDAYA LOKAL

ABSTRAK


Atas prakarsa para pemuka masyarakat Jawa Barat pada tanggal 11 September 1957 berdirilah Universitas Padjadjaran melalui Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 57, dan diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 24 September 1957.
Misi universitas ini adalah secara efektif dan efisien melakukan manajemen terhadap proses pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan visi universitas serta menghasilkan lulusan yang beriman, cerdas, mandiri, dan berbudaya.
Dalam misi Universitas di atas, dijelaskan bahwa Universitas ini masih mementingkan budaya sebagai salah satu aspek dalam keluaran mahasiswanya. Cerminan ini menggambarkan bahwa kepedulian Universitas Padjajaran kepada budaya sangat tinggi, hal ini karena universitas ini menganggap perlunya budaya sebagai unsur yang berpengaruh dalam kehidupan mahasiswanya nanti.
Fakultas Sastra secara resmi dibuka pada 1 November 1958. Pembukaan ini didasarkan atas Surat Keputusan Yayasan Pembina Universitas Padjadjaran No. 6/FS/531, tertanggal 1 Oktober 1958 tentang Pembukaan Fakultas Sastra.
Fakultas ini melengkapi dirinya dengan diadakannya beberapa institusi yang berlandaskan budaya, yaitu segala macam sastra dari beberapa ranah daerah dan Dokumentasi Budaya (D-3).
Menurut data pustaka yang kami dapatkan menjelaskan bahwa dalam Fakultas Sastra Unpad terdapat beberapa fasilitas yang mendukung untuk pelaksanaan budaya lokal, antara lain UKM Teater dan Teater Terbuka (blue stage)
Data ini menandakan bahwa fasilitas seni pertunjukan ini sudah matang dalam penggarapan pertunjukan berwarna lokalitas.
Dalam Dies Natalis Unpad ke-50 tanggal 27 Agustus 2007, UNPAD memecahkan rekor MURI (dan mungkin rekor dunia) “bermain angklung dengan jumlah peserta terbanyak (10.000 orang) dan jumlah permainan angklung oleh Guru Besar terbanyak.”
Ironis memang karena ternyatalah kalau di Indonesia masih sedikit Universitas yang mau melestarikan budayanya sendiri dengan terjun langsung ke lapangan dan rasanya patutlah jika Universitas Padjajaran ini kita contoh perbuatannya.


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pasundan sebagai kesatuan budaya adalah akal budi, pikiran serta hasil kreativitas masyarakat Sunda yang tumbuh sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas yang memiliki karakter dan pola-pola tertentu. Mungkin inilah yang dipegang teguh dan setidaknya dimengerti masyarakat Bandung dan sekitarnya sebagai masyarakat pasundan. Rasanya wajar bila kebanggaan berbudaya lokal dipegang teguh oleh masyarakat pribuminya karena hal tersebut dijadikan sebagai jati diri dan identitas mereka sebagai makhluk bermasyarakat.
Universitas Padjajaran merupakan universitas yang berdiri di Bandung pada tanggal 11 September 1957. Tentunya nuansa pasundan masuk dan terasa benar dalam setiap aspek universitas ini, dan ini jelas kewajaran “dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung”, begitu kata pepatah. Artinya kebanggan masyarakat Unpad terhadap budaya pasundannya cukup tinggi dan digegang teguh.
Dalam kesehariannya, masyarakat Unpad masih terasa sekali menggunakan budaya pasundannya dalam hal ini, yaitu bahasanya, adat kebiasaaannya, dan kepercayaannya akan budayanya sendiri. Hal ini tergambar ketika mahasiswa Fakultas Sastra Unpad berdialog dengan lawan bicaranya, logat yang nyunda terasa sekali. Rasanya hal lumrah ini tidak hanya berlaku di Unpad saja, Unsoed misalnya, tentu mahasiswanya akan menggunakan logat Jawa sekali karena memang terletak di Jawa Tengah. Hal itu terjadi karena budaya berbahasa lokal dijadikan sebagai identitas oleh manusia. Manusia akan hilang kesanggupannya hidup sebagai makhluk sosial bila ia tidak memiliki bahasa (Nababan, 1984:46). Selain itu kebiasaan terbuka yang digunakan dalam menyambut tamu pun terasa ketika kami (penulis) berkunjung ke sana.
Dalam kesempatan khusus di KKL ini kami (penulis) sempat mendapatkan suguhan pertunjukan budaya dalam rangka pertukaran budaya antara Unpad dan Unsoed. Tanpa kami sadari kami baru saja menyaksikan sebuah pertunjukan yang luar biasa menarik. Kedua universitas yang terlibat pada acara tersebut bersaing menyuguhkan kebanggaan berbudayanya masing-masing. Dalam hal ini kami (penulis) melihat bahwa ternyata budaya pun dapat mempengaruhi segala macam sendi kehidupan manusia dalam bermasyarakat, dalam persoalan ini pertunjukan seni khususnya.
Berangkat dari ketertarikan kami akan acara pertukaran budaya ini kami akan membahas labih jauh mengenai kepedulian civitas Unpad khususnya fakultas sastranya terhadap budaya lokal.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana gambaran Fakultas Sastra Unpad?
2. Fasilitas apa yang disediakan fakultas untuk perkembangan seni pertunjukan di sana?
3. Kegiatan apa yang pernah dilakukan Fakultas Sastra dalam kaitannya dengan budaya lokal?
4. Peranan apa yang disumbangkan budaya lokal dalam membunuh globalisasi pasar?

C. Tujuan
1. Menjelaskan gambaran Fakultas Sastra Unpad sebagai penjelasan situasi kesadaran budaya lokal yang terjadi.
2. Memaparkan fasilitas yang disediakan fakultas dalam perkembangan seni pertunjukan di Fakultas Sastra Unpad.
3. Mengetahui sejauh mana pengetahuan mahasiswa Fakultas Sastra Unpad terhadap budaya lokalnya.
4. Menjelaskan peranan budaya lokal dalam salah satu upaya pemberantasan globalisasi pasar.



BAB II
METODE PENULISAN LAPORAN


A. Metode Penulisan laporan KKL
1. Sumber Data
Data merupakan bahan jadi penelitian (Sudaryanto, 1995:9). Sumber data yang kami ambil sebagai referensi penulisan laporan ini kami bagi menjadi dua sumber, yaitu:
a. Data Primer
Data ini bersifat dasar, data inilah yang dianalisis (Kesuma, 2007:26). Pada data ini kami mendapatkannya melalui informan yang memang pantas dan kompeten dalam pertunjukan di Fakultas Sastra Unpad pada saat KKL. Data ini kami peroleh melalui wawancara dan diskusi mengenai hal yang bersangkutan.
b. Data Skunder
Data ini merupakan data penunjang dari data primer. Data penunjang adalah data yang dimanfaatkan untuk menunjang kerja analisis (Kesuma, 2007:26). Data ini kami dapatkan dengan literatur yang kami dapatkan dari buku-buku dan profil Unpad yang kami dapatkan melalui situs resmi Unpad sendiri.
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan dari Kuliah Kerja Lapangan ini yang akhirnya hadir dalam bentuk laporan ini, yaitu tanggal 24 Juni 2008 di Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.

B. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara atau teknik cakap bertemu muka merupakan penjaringan data lewat percakapan antara peneliti dan informan yang dilakukan dengan bertemu langsung, tatap muka, atau bertemu muka (Kesuma 2007:42). Dalam wawancara ini kami lakukan dengan panitia KKL dari Unpad (HMJ). Pemilihan responden ini kami anggap sah karena memang yang bersangkutan memiliki keterkaitan dengan laporan yang kami buat. Berikut kami sertakan data diri dari responden yang kami mintai keterangan:

Responden I
Nama : Eka Permana
Usia : 20 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Jabatan : Ketua HMJ Sastra Indonesia
Responden II
Nama : Fega Maria
Usia : 21 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Jabatan : Ketua Teater Djati (UKM Teater)
Responden III
Nama : Dyar
Usia : 21 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Jabatan : Bagian Penelitian dan Pengembangan Teater Djati
Responden yang kami ambil sebagai sampel tidak dilakukan dengan sistem random melainkan pemilihan secara langsung kepada pihak yang memiliki kompeten dan sesuai dengan laporan yang kami buat, khususnya dalam bidang seni pertunjukan.
2. Studi Pustaka
Proses ini merupakan proses pencarian data melalui pembelajaran terhadap bahan-bahan yang sudah ada berbentuk literatur, wacana, artikel, dan dokumen lainnya yang bersangkutan dengan penelitian. Dalam kasus ini beberapa data kami ambil dari internet berhubung referensi beberapa buku sulit untuk dicari.

C. Teknik Analisis Data
Analisisi data merupakan upaya sang peneliti menangani langsung masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 1993:6). Seperti kebanyakan penulis, kami menggunakan teori yang sederhana dalam menganalisis data kami, yaitu metode kualitatif. Dalam laporan kami ini data yang sudah kami dapatkan akan dianalisa melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan.

1. Reduksi Data
Kegiatan yang bertujuan untuk mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan dan pengumpulan data. Proses ini berlangsung terus menerus sampai laporan akhir penelitian selesai.
2. Penyajian data
Sekumpulan informasi adalah sekumpulan informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilaksanakan meliputi berbagai jenis matrik, gambar, dan tabel serta lainnya.
3. Menarik Kesimpulan
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi berbagai hal yang ditemui dengan melakukan pencatatan-pencatatan peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigusi yang mungkin, alur sebab akibat akhirnya peneliti menarik kesimpulan (HB. Sutopo 1991:37)

BAB III
PEMBAHASAN


A. Tentang Fakultas Sastra dan Kelokalannya
Atas prakarsa para pemuka masyarakat Jawa Barat pada tanggal 11 September 1957 berdirilah Universitas Padjadjaran melalui Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 57, dan diresmikan oleh Presiden RI pada tanggal 24 September 1957.
Pada awal berdirinya, Universitas Padjadjaran mempunyai empat fakultas. Saat ini Universitas Padjadjaran telah berkembang menjadi salah satu universitas terkemuka di Indonesia dan kini menyelenggarakan 14 Program S1, 4 Program Profesi, 2 Program Spesialis, 17 Program Magister, 10 Program Doktor, 9 Program Ekstensi, 1 Program D-IV, dan 7 Program D-III.
Misi universitas ini adalah secara efektif dan efisien melakukan manajemen terhadap proses pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sesuai dengan visi universitas serta menghasilkan lulusan yang beriman, cerdas, mandiri, dan berbudaya.
Dalam misi Universitas di atas, dijelaskan bahwa Universitas ini masih mementingkan budaya sebagai salah satu aspek dalam keluaran mahasiswanya. Tentunya ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi para mahasiswanya nanti ketika menjadi masyarakat berbangsa dan bernegara yang baik. Cerminan ini menggambarkan bahwa kepedulian Universitas Padjajaran kepada budaya sangat tinggi, hal ini karena universitas ini menganggap perlunya budaya sebagai unsur yang berpengaruh dalam kehidupan mahasiswanya nanti. Dengan adanya misi universitas yang semacam ini rasanya memang sudah seharusnya universitas ini memiliki fakultas atau bidang ilmu yang menaungi masalah tersebut sebagai bentuk realisasi. Dalam hal ini Universitas Padjajaran menaungi Fakultas Sastra yang dijadikan tunggangan untuk membekali mahasiswanya dengan budaya sesuai dengan misi universitas.
Fakultas Sastra secara resmi dibuka pada 1 November 1958. Pembukaan ini didasarkan atas Surat Keputusan Yayasan Pembina Universitas Padjadjaran No. 6/FS/531, tertanggal 1 Oktober 1958 tentang Pembukaan Fakultas Sastra. Pada saat didirikan, Fakultas Sastra berada di bawah pembinaan Yayasan Pembina Universitas Padjadjaran. Kurang lebih dua tahun kemudian, status Fakultas Sastra memperoleh legalitas yang lebih kuat dengan keluarkannya Surat Keputusan Menteri PPK No. 66971/UU/60 tertanggal 12 Agustus 1960. SK Menteri PPK tersebut menetapkan Fakultas Sastra sebagai salah satu fakultas di lingkungan Universitas Negeri Padjadjaran atau tepatnya menjadi fakultas kedelapan di Universitas Padjadjaran. Pada awal didirikan Fakultas Sastra memiliki empat jurusan untuk program sarjana yaitu Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Sunda, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Jurusan Sejarah, serta Jurusan Bahasa dan Sastra Perancis.
Seiring dengan tantangan dan kebutuhan masyarakat terhadap pendidikan tinggi, Fakultas Sastra telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan di berbagai bidang. Khusus di bidang pendidikan, di samping mengalami penambahan jurusan-jurusan baru pada program Strata Satu, Fakultas Sastra juga mengalami perluasan jenjang pendidikan yang ditandai oleh dibukanya Program Diploma III serta Program Pascasarjana, baik Program Magister maupun Program Doktor. Hingga saat ini Fakultas Sastra memiliki 2 Program Doktor (S-3), 5 Program Magister (S-2), 9 Program Sarjana Reguler (S-1), 3 Program Sarjana Kelas Khusus (S-1), dan 8 Program Diploma (D-3). Pada masa mendatang pembukaan atau penambahan jurusan serta program-program studi baru di berbagai jenjang pendidikan akan tetap terbuka lebar, seiring dengan kebutuhan dan tuntutan stakeholders.
Program-program yang kini dimiliki Fakultas Sastra adalah Linguistik dan Filologi (S-3); Linguistik, Filologi, Museologi, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Ilmu Sejarah (S-2); Sastra Indonesia, Sastra Sunda, Ilmu Sejarah, Sastra Inggris, Sastra Perancis, Sastra Jepang, Sastra Rusia, Sastra Jerman, dan Sastra Arab (S-1); Editing, Dokumentasi Budaya, Bahasa Inggris, Bahasa Jepang, Bahasa Perancis, Bahasa Jerman, Usaha Perjalanan Wisata, dan Bahasa Mandarin (D-3).
Visi Fakultas Sastra Unpad, yaitu menjadikan Fakultas Satra sebagai institusi yang memiliki komitmen dan integritas yang kuat dalam melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas di bidang bahasa, sastra, budaya, dan sejarah; adaptif terhadap berbagai perubahan yang terjadi serta memiliki kecerdasan dalam membangun jiwa kewirausahaan.
Misi Fakultas Sastra Unpad, yaitu mengoptimalkan pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi di bidang bahasa, sastra, budaya, dan sejarah; mengembangkan kepekaan terhadap perubahan eksternal dan internal, serta membangun jiwa kewirausaan di kalangan sivitas akademika.
Tujuan Fakultas Sastra Unpad, yaitu terciptanya iklim manajemen kebersamaan dalam mengembangkan fakultas; teroptimalkannya pelaksanaan kegiatan Tridarma Perguruan Tinggi di kalangan sivitas akademika; terciptanya kepekaan di kalangan sivitas akademika dalam membaca, mengantisipasi, dan menjawab berbagai perubahan, baik pada tataran internal maupun eksternal; tertanamkannya jiwa kewirausahaan di kalangan sivitas akademika.
Dapat dilihat dengan jelas kalau Fakultas Sastra memang dijadikan sarana universitas untuk mewujudkan salah satu misinya, yaitu menghasilkan keluaran yang berbudaya. Dengan adanya Fakultas Sastra di Unpad ini pastinya dapat membuka pikiran mahasiswanya betapa pentingnya budaya dalam peradaban bermasyarakat nantinya.
Fakultas ini melengkapi dirinya dengan diadakannya beberapa institusi yang berlandaskan budaya, yaitu segala macam sastra dari beberapa ranah daerah dan Dokumentasi Budaya (D-3). Yang membuat kami tertarik adalah Sastra Sunda (S-1). Adanya program studi Sastra Sunda menandakan kecintaan budaya lokal yang masih dijunjung tinggi. Bagaimana tidak, sekian ratus atau bahkan ribu mahasiswa yang menuntut ilmu di fakultas ini dengan asal dan identitas yang berbeda, namun fakultas ini tetap menjunjung tinggi kelokalannya. Kami rasa jelas ini yang menjadikan kecintaan budaya lokal mahasiswa Fakultas Sastra Unpad begitu besar karena tidak semua Fakultas Sastra di perguruan tinggi lain yang menyediakan program studi kajian lokal. Sedangkan dengan adanya program studi Dokumentasi Budaya (D-3) akan membantu mahasiswanya untuk lebih berapresiasi dan menghargai kebudayaan.

B. Fasilitas Seni Yang Disediakan Fakultas
Untuk menjelaskan hal ini kami melakukan beberapa wawancara kepada responden yang sudah kami pilih dan kami anggap kompeten untuk menjawab pertanyaan kami. Menurut data pustaka yang kami dapatkan menjelaskan bahwa dalam Fakultas Sastra Unpad terdapat beberapa fasilitas yang mendukung untuk pelaksanaan budaya lokal, antara lain UKM Teater dan Teater Terbuka (blue stage).
Teater terbuka Fakultas Sastra yang diberi nama Blue Stage disediakan bagi seluruh mahasiswa sebagai sarana untuk menggelar berbagai pentas kesenian yang mendukung aktivitas akademik di ruang kuliah. Berbagai pentas seni yang sering digelar di teater terbuka ini adalah pembacaan puisi, pementasan teater, drama, operet, kabaret, pentas seni tari, pentas karawian, pentas musik, dll. Penjelasan lain dituturkan oleh Eka Permana selaku ketua HMJ Sastra Indonesia,
Blue stage ini mah kita gunakan biasa untuk kumpul mahasiswa-mahasiswanya yang seneng sama seni pertunjukan. Disini biasanya temen-temen berapresiasi, ngeluarin unek-uneknya dan kegelisahannya. Yah biar udah keliatan tua dan sedikit berumput gini tapi udah sering banget dipake buat pertunjukan seni.

Adapun fasilitas berikutnya adalah UKM Teater yang tentunya sebagai ujung tombak dari kesenian-kesenian yang dipertontonkan di blue stage. Pertunjukan pertukaran budaya yang dilakukan saat KKL berlangsung pun diprakasai oleh UKM teater ini yang bernama Teater Djati.
Beberapa sejarah produksi Teater Djati:
1. Bukannya Di Madrid karya W.S. Rendra tahun 2000
2. Wabah karya Hanindawan tahun 2001
3. Arrgh adaptasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul “Listrik” Oktober 2002 dan September 2004
4. Stop karya Putu Wijaya
5. Telepon adaptasi dari cerpen “Telepon” karya Putu Wijaya
6. Buron adaptasi dari cerpen “Dua Pemerkosa” karya Jujur Prananto
Rabu, 26 Maret 2003 di GOR Pakuan Unpad
Sabtu, 29 Maret 2003 di SMU Negeri I Banjaran
Jumat, 2 Mei 2003 di G.K. Dadaha Tasikmalaya
Sabtu, 3 Mei 2003 di Universitas Galuh Ciamis
Juni 2003 di Universitas Andalas Padang
7. Seribu Kunang-Kunang Di Manhattan karya Umar Kayam
8. Gara-Gara Si Yeti adaptasi dari “Di Muka Kaca” Utuy T. Sontani
9. Soang adaptasi dari “Nyanyian Angsa” karya W.S. Rendra
5 Juni 2004 di Aula B Fasa Unpad
19 Juni 2004 di Graha Insun Medal (GIM) Sumedang
23 Juni 2004 di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung
10. Bahaya Racun Tembakau karya Anton Chekhov
11. Terkapar karya Hermana HMT
4 Desember 2004 di Fasa Unpad
12. Wuadhuuh adaptasi dari “Aduh” karya Putu Wijaya
Juni 2005 di Blue Stage Fasa Unpad
13. Kupu-kupu Sayap Satu adaptasi dari cerpen “Penyanyi Koor” karya Anton Chekov
31 September 2005 di Aula B Fasa Unpad
1 Oktober 2005 di Aula B Fasa Unpad
29 November 2005 di CCF Bandung
14. Perempuan Berwarna karya Irayati Tampubolon
Sabtu, 21 April 2007 di Aula PSBJ Jatinangor
15. Peremuan Berwarna karya Irayati Tampubolon
Rabu, 2 Mei 2007 di halaman Fikom Jatinangor
16. Kampanye Tolol Karya Irayati Tampubolon
Jumat, 24 Mei 2007 di lapangan parkir dekanat Fasa Jatinangor
17. Makan Malam karya Linda Christanty
Rabu, 29 Agustus 2007 di PSBJ Jatinangor
18. Si Kundang Pulang ke Sarang adaptasi dari puisi “Si Kundang” Karya Subagyo Sastrowardoyo
Jumat, 7 Desember 2007 di PSBJ Jatinangor
19. Denting Sunyi Si Malin adaptasi dari puisi-puisi Goenawan Moehammad
Sabtu, 26 April 2008 di PSBJ Jatinangor
Happening Art Teater Djati
1. “Batu Baterai” di Aula B Fasa Unpad Oktober tahun 2003
2. Pada acara Komunitas Per-EMPU-an di PSBJ Fasa Unpad tahun 2001
3. Pada Acara DKM Al-Mushlih di PSBJ Fasa Unpad tahun 2001 dan di Aula Kedokteran Gd. 5 tahun 2005
4. Pada Acara LMND (Lembaga Mahasiswa Nasional Demokrat) Di PSBJ Fasa Unpad tahun 2002
5. Pada Acara Malam Purnama Kapat yang diselenggarakan oleh Masak (Masyarakat Antikekerasan) di Gerbang Unpad tahun 2002
6. Pada Acara Tadarus Budaya diselenggarakan oleh Kbel_Nalar di Taman Unpad Tahun 2004
7. Pada Acara Panggung Kultur diselengarakan oleh Kbel_Nalar dan Teater Djati Tahun 2004
8. Pada Acara Atjeh Lon Sayang diselenggarakan oleh Kbel_Nalar, Bem Kema Unpad, dll di Gerbang Unpad awal tahun 2005
Dari salah satu fasilitas seni pertunjukan yang disediakan ini (UKM Teater Djati) kita dapat melihat beberapa karya yang bernuansa lokalitas dibawakan dalam pentas-pentas mereka, antara lain Si Kundang Pulang ke Sarang adaptasi dari puisi “Si Kundang” Karya Subagyo Sastrowardoyo, Denting Sunyi Si Malin adaptasi dari puisi-puisi Goenawan Moehammad, Seribu Kunang-Kunang Di Manhattan karya Umar Kayam (versi Sunda) dan yang terakhir dan tak terdapat dalam data yaitu prosesi penyambutan KKL Jurusan Ilmu Budaya Unsoed angkatan 2005. Data ini menandakan bahwa fasilitas seni pertunjukan ini sudah matang dalam penggarapan pertunjukan berwarna lokalitas.
C. Kegiatan yang Dilakukan Fakultas Sastra Unpad Dalam Kaitannya Dengan Budaya Lokal
Dalam hal kebudayaan Indonesia memang nomer 1 di dunia.
Kita boleh kalah dalam hal sepak bola, tapi corak ragam budaya adalah nomer 1 di dunia. Dies Natalis Unpad ke-50 tanggal 27 Agustus 2007, memecahkan rekor Muri (dan mungkin rekor dunia) “bermain angklung dengan jumlah peserta terbanyak (10.000 orang) dan jumlah permainan angklung oleh Guru Besar terbanyak.”
Acara ini didukung oleh Saung Angklung Udjo, dan dihadiri oleh Menteri Kebudayaan dan Parawisata Ir. Jero Wacik, gubernur Jawa Barat, para guru besar Universitas Padjadjaran dan beberapa artis Ibukota. Acara dipandu oleh MC Daan Arya yang juga merupakan alumni Universitas Padjadjaran.
Pemecahan Rekor Muri ini juga sebagai penegasan bahwa kesenian angklung adalah milik bangsa Indonesia. Dan sekaligus menolak klaim dari sebuah negara yang ingin merampas hak atas kepemilikan kesenian angklung ini.
Seni angklung modern adalah hasil karya (Alm) Daeng Sutigna (1938), yang mengembangkan angklung pentatotis menjadi diatonis, yang kemudian dilestarikan selanjutnya oleh Udjo Ngalagena.
Jero Wacik menegaskan, sertifikat dari UNESCO atas kepemilikan kesenian angklung ini harus dimiliki oleh bangsa Indonesia, jangan sampai didahului oleh negara lain.
Anda tahu bagaimana bentuk angklung buhun (tua / kuno)?. Pada acara ini juga ditampilkan bentuk angklung buhun, yang mempunyai ukuran lebih besar daripada angklung modern.
Dipimpin oleh teh Ika yang siang itu terlihat sangat cantik, dengan komando-komandonya yangg sesekali menghibur sangat membuat cerah suasana. Bermain angklung memang menyenangkan, nada diatonis benar-benar menghibur dan menghipnotis. Bahkan terlihat dari wajah para guru besar begitu sumringah ketika menggoyang buluh-buluh bambu seakan mengingatkan masa kecil yang membahagiakan.
Walaupun para pemain adalah orang yang baru kali ini saja memainkan angklung tapi karena permainan ini begitu mudah dan menyenangkan, maka hanya dengan berlatih dadakan 1 sampai 2 lagu, dan dengan dipandu dengan sangat baik oleh Teh Ika dan Kang Sam, maka seketika juga para pemain angklung yang berjumlah lebih dari 10000 pemain itu bisa dengan sangat merdu memainkan sebuah lagu “You Raise Me Up” yang pernah dipopulerkan oleh Josh Groban.
Alat musik angklung selain unik, juga sangat luwes. Ini juga merupakan cerminan dari luwesnya kebudayaan dan orang sunda.
Satu demi satu lagu kemudian dimainkan oleh para peserta, Indonesia Pusaka, begitu menggetarkan jiwa dan keharuan. Seakan nada-nada yang merdu tersebut serasa merambat pelan di dalam aliran darah dari kaki hingga sel-sel neuron sehingga merinding bulu kuduk ketika mendengarnya.
Acara ini kemudian ditutup dengan sebuah lagu dari sunda, Pileuleuyan. Ungkapan perpisahan dari sebuah pengalaman tak terlupakan...
Pileuleuyan pileuleuyean..
Sapu nyere pegat simpai
Pileuleuyan pileuleuyean..
Paturay patepang deui..
Amit mundur .. amit mundur
Amit ka jalma nu rea
Amit mundur .. amit mundur
Da kuring arek ngumbara
Inilah salah satu kegiatan Unpad yang diposting oleh Hadin melalui website detik.com dalam rubrik “Hayu ka Bandung”. Rubrik ini telah kami konfirmasi kepada ketua Teater Djati, Fega Maria yang kami temui sewaktu berada di Fakultas Sastra Unpad.
Kita memang pernah melakukan seperti yang diberitakan itu, bahkan banyak dosen sastra yang ikut ambil bagian dalam memeriahkan acara tersebut. Memang lucu juga sih mereka, orang tua yang bermain angklung, seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan

Selain hal tersebut, seperti yang telah dijabarkan di sub-bab sebelumnya , salah satu fasilitas seni pertunjukan di Fakultas Sastra Unpad (Teater Djati) juga sudah tampak mahir dalam memainkan pertunjukan berbau lokalitas. Dyar selaku Ketua Bagian LITBANG Teater Djati mengatakan bahwa hal ini dilakukan karena memang sudah saatnya kita menjaga budaya sebelum dicuri seperti yang sudah-sudah.
Ironis memang karena ternyatalah kalau di Indonesia masih sedikit Universitas yang mau melestarikan budayanya sendiri dengan terjun langsung ke lapangan dan rasanya patutlah jika Universitas Padjajaran ini kita contoh perbuatannya.

D. Peranan Budaya Lokal Dalam Membunuh Globalisasi Pasar
Dalam kesempatan KKL kami (penulis) kemarin, sempat disuguhkan kuliah umum dalam rentetan acaranya dan ternyata salah satu kuliah umum yang kami terima disinggunglah mengenai budaya lokal oleh salah satu pembicaranya, yaitu M. Irfan Hidayatullah. Kami tertarik sekali dengan apa yang disampaikan olehnya dalam essainya yang berjudul Sastra, Teror, dan Pergulatan Identitas. Essai itu mencoba untuk mendobrak batasan “pasar sastra” yang kini mulai berbau globalisasi sehingga menimbulkan karya-karya seni “pop” sampai akhirnya mempengaruhi idealisme dan identitas budaya.
Dalam essai M. Irfan ini terdapat nasihat-nasihat yang kiranya memang perlu dipikirkan pula, beliau menuliskan seperti ini,
Sastra adalah identitas budaya yang terkonstruksi oleh zaman. Zaman sebagai ruang tempat manusia berperan dalam pergulatan identitas. Ruang tempat berdialognya (meminjam istilah Bakhtin) berbagai paradigma pergerakan, berbagai ideologi. Sastra bukanlah sebuah nomina yang objektif dalm ruang yang penuh representasi identitas. Karenanya sastra bukanlah sesuatau yang yang harus disanjung keberadaannya sebagai sebuah entitas seni yang unggul dalam menyelesaikan permasalahan karena (kadang atau bahkan seringkali) sastra dijadikan alat yang efektif bagi sebuah kekuasaan.
Lantas kekuasaan semacam apakah yang meneror kreatifitas sastra saat ini? Adalah globalisasi yang dating dengan mengatasnamakan demokrasi dan kebebasan ekspresi telah menjadi ruh baru sastra Indonesia. Dalam hal ini, saya sepakat dengan saudara Nemichandra yang menegaskan bahwa terror and globalization are not too far from each other. Lewat jargon globalisasi tersebut sastra hidup tanpa akar identitas yang jelas. Sastra menjadi hybrid dan gagap menyampaikan kearipan lokal yang menjadi kekayaan batin masyarakat. Lewat kebudayaan hybrid konsepsi nilai menjadi chaos dan dari kechaosan itu muncullah moralitasbaru yang menjiplak nilai-nilai yang diusung ideologi neoliberalis yang menjadikan sastra sebagai artikulatornya. Selain itu, ditunjang oleh kekuatan budaya pasar yang menjadi etos bersastra menjadi etos popular. Etos yang berorientasi pada hasrat banal masyarakat yang telah dikonstruksikan lewat media-media baru.
Demikianlah yang disampaikan oleh M. Irfan yang merasa khawatir akan dunia sastra yang nantinya akan tertipu oleh teror globalisasi sehingga akan mempengaruhi “pasar sastra” nantinya. Kekhawatiran ini harusnya dapat mereda ketika kepedulian terhadap sastra lokal muncul kepermukaan dan tidak hanya menjadi omongan belaka.
Setali tiga uang, pernyataan M. Irfan ini bersambut oleh pergerakan UNPAD dan mahasiswa Fakultas Sastra Unpad yang merasa perlu adanya rehabilitasi lokalitas dalam segala hal tanpa merusak rasa nasionalisme. Entah memang sedang menjadi syndrome atau memang kesadaran masal yang terjadi tapi keadaan yang selaras itu tampak begitu harmonis dengan semangat yang sama seperti saat Indonesia berperang untuk mengusir penjajah.



BAB IV
PENUTUP


A. Saran
Dikatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik, rasanya pernyataan semacam itu menjadi kata-kata yang terbukti bagi kami. Biar bagaimanapun, setelah KKL ini berlangsung kami dapat mengambil banyak hal yang kiranya dapat menjadi pegangan bagi kami dalam kesempatan yang lain.
Tentunya dengan adanya laporan ini, kami juga mengharapkan adanya saran yang dapat dipetik sebagai pelajaran, dan pelajaran yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. Betapapun juga manusia memang makhluk sosial, mereka akan hidup bermasyarakat dimanapun mereka berada dan salah satu tanda bahwa manusia merupakan makhluk sosial adalah dengan adanya budaya yang dipegang dalam hidup.
2. Kita semua harus memahami benar-benar bahwa kita boleh kalah dalam hal sepak bola, tapi corak ragam budaya adalah nomer satu di dunia. Itu artinya bagaimanapun bangsa luar memandang bangsa kita kita tetap unggul dalam hal budaya.
3. Dan yang terakhir adalah rasa malu pada akhirnya akan menghambat segalanya menjadi harmonis dan menghalangi rasa cinta kita terhadap sesuatu.



DAFTAR PUSTAKA

Kesuma, T.M.J. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta; Carasvatibooks.
Munsyi, A.D. 2005. Bahasa Menunjukan Bangsa. Jakarta; KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Subandi, E. Pujihastuti, dan A. Hidayat. 2005. Buku Ajar Sosiolinguistik. Purwokerto; Universitas Jenderal Soedirman.
Hidayatullah, M.I. 2008. Sastra, Teror, dan Pergulatan Indonesia. Essai dalam Kuliah Umum KKL FISIP Jurusan Ilmu Budaya Angkatan 2005 UNSOED.
Hadin. 2007. Rekor Bermain Angklung di Bandung. .
UNPAD. 2005. Sejarah. http://www.unpad.ac.id/sejarah.xhtml 2 Juli 2008
Joomla. 2008. Tentang Sastra. http://sastraunpad.org/tentangsastra.html 2 Juli 2008
Maria, F. 2008. Perjalanan Djati. http://www.bayumurdiyanto.blogspot.com 2 Juli 2008

Kamis, 10 Juli 2008

Karya Bayu Murdiyanto
Sepanjang

Awas jaga jarak!!!
R.M. Panorama
Dirgahayu Republik Indonesia
Makam Pahlawan
Hotel Nirwana.

Tak bisakah semua?
Berawal di takbir terang
sampai di takbir gelap
(maya tapi pasti)
tanpa tembok.
Tak bisa tahu,
karena hanya batin masingmasing
yang mau percaya kembali
ke titik nadir.

(Sepanjang Pantura, 2008)



Tujuan Langkah Kembali

Ujung jari kakikaki sampai ke tumit,
kenapa tidak dilangkahkan ke jalan
yang becek?
Ujung saraf yang rumit sampai ke titik inti,
kenapa tidak dilemparkan ke lahan
yang basah?

Mungkin karena semua itu
banyak tembok cuil dan perlahan rontok.
Itu sebabnya "kenapa", bukan "harusnya".

Jadi sebelum "harusnya" lebih baik jangan!
Kembali saja
langkah ke tujuan mula!
(Purwokerto, 2008)



Induk Yang Hilang

seekor lebah kembali setelah lelah
mencari madu di barat.
Dengan kedua tangan
dan sisa organ yang lain
ia menggpoh cawan tempat madu
untuk dibawa pulang sebagai bahan makanan
nantinya.
Lebah sampai tujuan,
tapi rumah kosong,
ia masuk kerumah mencari induknya.
tetap kosong.
Tak lama lebah bersedih
bukan karena sedih tapi ada sedih
yang berlebih.
Induknya hilang entah kemana.
Lalu ketika ditanya cawan madu yang ia bawa,
kenapa kau bersedih?
Lebah menjawab, "Aku tak bisa makan
kalau indukku tak ada walau aku bisa mencari madu".

(Purwokerto, 2008. Puisi ini lolos dalam forum Ngobras (ngobrol bareng sastra) di Purwokerto)



Jumat, 04 Juli 2008

Biodata

Bayu Murdiyanto, lahir sebagai anak dari pemain ketoprak sedrhana di yogyakarta 1 februari 1987 lalu. mengenyam pendidikan : TK, Bhayangkari 7, SDN Palmerah 15 Pagi, SMPN 2 Gunung Sindur, SMA Negeri 1 Serpong yang kini menjadi SMA 1 Cisauk, dan saat ini sedang melanjutkan pendidikannya sebagai sarjana sastra di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Saat ini mengelola Komunitas Sastra Sastra Alam di Purwokerto. sedang sibuk juga di dunia perteateran Purwokerto, Teater teksas, Teater Tjotjok, dan komunitas pantomim Alif lam-mime. karyanya berupa naskah drama sudah malang melintang dipentaskan di beberapa pertunjukan besar komunitas di Purwokerto dan dibukukan oleh Komunitas Hujan Tak Kunjung Padam dalam antologi Monolog Orang-Orang Tak Terkenal di Purwokerto. rencana ke depannya akan menyusun Buku Kumpulan Naskah Tunggalnya dalam Judul "Menungguku Privasi"