Like This Yo...

Minggu, 09 November 2008

KATA YANG SUDAH TIDAK DIGUNAKAN DALAM KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA TERBITAN BALAI PUSTAKA (HURUF M DAN N)

KATA YANG SUDAH TIDAK DIGUNAKAN

DALAM KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA TERBITAN BALAI PUSTAKA

(HURUF M DAN N)


M


Mabul- mabul : Keadaan berantakan (seperti Kapuk, rambut)

Ma cat : Macet

Macis : Korek api

Madani : Berhubungan dengan hak-hak sipil

Madar : Tidak berperasaan

Madar : Menara tempat orang berjaga, dinding atau tempat di atas menara, diberi lubang-lubang untuk mengintai

Madau : Alat bunyi-bunyian

Madik : Utusan pihak laki-laki untuk melamar gadis

Mado : Sistem klan di Nias, bersifat patrineal

Madras : Kain sutra atau kain katun yang ulet

Maduraka : Kain sutra berbenang warna emas

Maesan : Nisan

Mag : Lambung

Magalah : Pasukan pengawal istana yang bersanjata tombak

Magandi : Pasukan pengawal istana yang bersanjata pemukul

Magel : Setengah masak (belum matang benar)

Magenta : Merah keungu-unguan

Magersari : Orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain

Magi : Sesuatu atau cara tertentu yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib

Magistrat : Pemerintahan negeri

Maglub : Sesuatu yang dikalahkan

Magobi : Mahoni

Magrur : Sombong, Angkuh

Magun : Atap pelindung, atau rumah-rumahan pada perahu

Mahapatih : Patih yang berkuasa

Maharana : Perang besar

Maharani : Raja perempuan

Mahardika : Berilmu, cerdik, pandai, bijak

Mahatma : Jiwa besar

Mahatur : Sebutan untuk salah satu istri raja

Mahla : Inti, sumber

Mahimahi : Ikan Laut

Mahmud : Yang berbunyi

Mahsul : Hasil

Maldo : Mencela karena tidak percaya

Mairat : Hilang, pergi

Majakaya : Tidak tersambung

Majal : Tumpul, tidak tajam

Majedub : Manusia pilihan tuhan yang merasa bahwa tuhan seakan berada di sisinya

Majenun : Kemasukan jin

Majer : Majin, tidak beranak, mandul

Majong : Kain untuk menggosok mesin

Majuh : Lahap, rakus

Majun : Potongan sisa bahan

Majung : Serat dsb untuk menyumbat sela-sela papan

Majusi : Pengikut agama penyembah api

Mak : Ibu

Maksi : Berukuran sampai mata kaki

Maksum : Terbagi, terpisah

Maktab : Tempat belajar

Maktub : Tertulis, tercantum

Makul : Menurut akal

Makurung : Hukuman berupa tahanan rumah selama 15 hari karena tidak ikut serta dalam kerja bakti

Makzul : Berhenti memegang jabatan, turun tahta

Mala : Bencana, celaka, sengsara

Malabau : Bau tidak sedap

Malagandang : Melarikan gadis dengan paksa untuk dikawini

Malai : Untaian (bunag, butir padi)

Malaise : Keadaan lesu dan serta sulit (bidang ekonomi)

Malakat : Kerajaan

Malakut : Kerajaan yang besar, kekuasaan

Malan : merasa kurang senang

Malap : Suram

Malar : Terus-menerus

Male : Sebutan bagi wanita yang mandul

Malih ; berubah, bertukar

Malka : Tempat bertemu

Malum : terkutuk, kena laknat

Malung : Mug besar

Mamai : Seperti hilang ingatan

Mambang : Warna kuning kemerah – merahan di sebelah barat ketika matahari mulai terbenam

Mambek : Tidak mengalir

Mambu : Berbau, basi

Mampung : Ringan dan berongga-rongga

Manai : Putih pucat

Manakala : Kata penghubung untuk menandai syarat

Manakan : bagaimana akan boleh

Manau : Rotan besar

Manda : Mau atau tahan

Madah : Daun atau kulit yang ditaruh di lesung

Mandai : Melamar gadis yang dilakukan sendiri oleh pemuda

Mandam : Berasa pusing karena mabuk

Mandeh : Ibu

Mandil : sapu tangan

Mandril : Kera besar

Mandung : Ayam jantan

Mangap : Membuka mulut, menganga

Manggah : Sesak napas

Manggung : Berkicau

Mangkak : Besar hati, bangga

Mangkar : Keras, tidak bisa menjadi lunak

Mangkus : Manjur, berhasil guna

Manjeri : Mengangkat ahli waris dari keturunan laki-laki

Manjung : Suluh atau obor besar

Manol : Orang yang bekerja pada orang lain untuk mengangkat barang

Mantik : Cara berfikir yang hanyan berdasarkan pikiran belaka

Manut : Suka, menurut

Mara : Bencana, bahaya

Marbut : Penjaga dan pengurus masjd

Merem : Puas hati, senag

Manu : Hantu yang suka mengganggu

Masit : Utuh dan padat

Maskanat : Kemiskinan

Masygul : Bersusah hati karena suatu sebab

Mathum : Sudah paham

Matlak : Daerah tempat terbitnya matahari

Matsadah :Kebiasaan, kejahatan, perbuatan jahat

Maujud : Benar-benar ada, hanya

Maula : Tuan

Mau-mau : Pisang

Mayeng : terus-menerus

Mbeling : Nakal

Medit : Kikir, pelit

Melit : Selalu ingin tahu segala-galanya

Memalangi : menghalangi jalan

Memble : Terkelepai kebawah (bibir)

Memedi : Makhluk halus

Menak : Orang termormat

Mengi : Penyakit sesak napas

Mengkis : berteriak

Mentas : keluar dari air

Menteleng : Membuka mata selebar-lebarnya

Mentis : Bertunas

Merajak : Tumbuh subur

Merawan : Pohon tinggi besar

Merduk : Barang atau harta benda yang tidak berharga

Mereng : Miring

Merih : Tenggorokan, pembuluh napas

Milad : Waktu kelahiran

Mileu : Lingkungan

Misai : Bulu rambut diatas bibir atas

Moblong : Terbuka lebar

Moler : Pelacur

Moncor : Mengalir keluar

Monyos : Mendapat malu

Mores : Adat sopan santun

Mosi : Keputusan Sapat

Muas : Menjadi encer

Mubut : Mudah patah

Mudat : Perpanjang



N


Nabu : Biji Buah (durian, nangka, cempedak) dan daging buah.

Naf : Pusat roda yang berbentuk silinder, berlubang, dilalui poros, dan dipasangi jari-jari roda.

Nabak : Bangkit (perasaan, selera, dsb)

Nahi : Isi yang dilarang

Nyak : Bertambah besar

Naim : Nyaman, nikmat, senang

Najam : Bintang

Najasah : Kecemaran

Najasat : Najasah

Nail : Satuan ukuran isi (beras dsb) 16 gantang atau 1/50 koyan

Nalih : Nail

Namatium : Komunitas selokan

Nampal : Napal

Nanang : Memikirkan sesuatu dalam-dalam; merenung.

Nanap : Terbuka lebar-lebar (mata); melihat dengan mata tidak berkedip; terbeliak

Nang : Nan; yang

Napal : Tanah liat merah yang dapat dimakan sebagai obat; ampo.

Nara : Orang

Narapati : Raja

Narapraja : Raja

Narawastu : Narwastu

Narestu : Narwastu

Narpati : Narapati

Nasakh : Menghapuskan; menghentikan

Nasut : Raja; baginda; sang

Natura : Barang yang sebenarnya bukan dibentuk uang (pembayaran)

Nau : Enau

Nawa : Sembilan

Nawala : Lembaran cetakan berupa pamflet atau surat kabaryang diterbitkan pada waktu-waktu tertentu yang berisi tentang perkembangan perusahaan

Nawalapatra : Karangan, tulisan, perbuatan

Nawalapradata : Nama buku tentang hukum keraton (kerajaan

Nawastu : Narwastu

Nayaga : Niyaga

Nayaka : Menteri

Nayam : Tenggala; mata bajak

Nayap : Mencuri pada siang hari

Nazim : Pengarang, penyair

Nazir : Penyampai berita duka

Neala : Cuping pada sayap belakang serangga

Neces : Necis

Negosi : Perdagangan; perniagaan

Nenar : Nanar

Nenda : Nenenda

Naraksara : Melanggar peraturan

Nestor : Orang tua yang bijak

Ngalau : Gua

Ngaral : Lembah (jurang) yang dalam dan luas diantara dua tebing yang curam

Ngeang : Melihat hantu

Ni : Kata sapaan untuk wanita yang belum kawin; nona

Nidera : Tidur (nyenyak); kantuk

Nik : Sapaan untuk gadis kecil

Nilam : Ketilang

Ninik : Nenek

Nisbah : Perhubungan keluarga; nama yang menyatakan seketurunan

Nisbi : Hanya terlihat (pasti; terukur) kalau dibandingkan dengan yang lain; dapat begini atau begitu; bergantung kepada orang yang memandang; tidak mutla; relatif

Niskala : Tidak berwujud; tidak berbeda; mujarad; abstra

Nomad : Kelompok orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, berkelana dari satu tempat ke tempat lain, biasanya pindah pada musim tertentu ke tempat tertentu sesuai dengan keperluan kelompok itu.

Non : Biarawati

Non : Lihat kaum

Nona : Makan sirih; tanaman perdu kecil dan pendek, merambat, bunganya berkelopak besar, putih berubah menjadi merah keunguan apabila menjadi buah, berguna sebagai tanaman hias

Nonhis : Tidak bersifat

Nonoh : Senonoh

Num : Ikan yang besar

Nutfah : Mani (benih manusia)

Nyah : Enyah

Nyalar : Selalu

Nyamur : Embun

Nyang : Yang

Nyanyu : Selalu berkata yang bukan-bukan, merepek, menyanyah

Nyarik : Nyaring

Nyinyir : Mengulang-ulang printah atau permintaan

Nyiru : Alat rumah tangga, berbentuk bundar, dibuat dari bamboo yang dianyam, gunanya untuk menempi beras dsb

Nyonyol : Suka berbicara; banyak bicara

Nyolo : Perasapan, pendupaan

Nyonyot : Nyunyut

Nyungsung : Mudah kerasukan (roh dsb) atau tidak sadarkan diri

Nyunyut : Menyunyut; menarik panjang-panjang; menjujut; menghela

Nyunyut : Bergerak turun naik (ubun-ubun bayi)

Nyunyut : Mengulum dan menghisap (permen, tetek, dsb)





Bahasa Daerah Versus Bahasa Indonesia

Bahasa Daerah Versus Bahasa Indonesia



Apakah anda pernah membaca usulan Rancangan Undang-undang Kebahasaan ? jika sudah apa tanggapan anda ?

Dalam perkembangannya Negara republik Indonesia kita tercinta ini mulai mengkhawatirkan keadaan bahasanya. Begitulah kira-kira alasan dibentuknya RUU Kebahasaan, sebagai dewa penyelamat bahasa Indonesia yang sudah mulai timbul tenggelam. Betapa tidak, remaja era sekarang sudah lupa nasionalisme mereka terutama dengan bahasa mereka. Pernah dengar bahasa gaul ? itulah bahasa tandingan terbesar bagi bahasa Indonesia dan inilah yang menjadi musuh terbesar bagi nasionalisme.

Untuk mengantisipasi kurangnya filterasi dalam bahasa Indonesia, pemerintah mencoba untuk membendungnya dengan diadakannya RUU Kebahasaan yang dibicarakan di Semarang kurang lebih satu tahun lalu. Dalam RUU Kebahasaan ini berisi banyak sekali pasal-pasal yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia dan tata cara pemaakaiannya di negara asing atau pada media.

Dalam beberapa pasal RUU ini memang mengambil langkah yang tepat, contohnya dalam media harus menggunakan bahasa Indonesia dengan tepat dan mengurangi pemakaian bahasa yang ambigu, tapi pada pasal yang menyinggung bahasa daerah ada sedikit kontroversi. Pemakaian bahasa daerah dibatasi dalam RUU Kebahasaan ini, penggunaanya hanya dapat dipakai pada situasi keseharian dan bukan pada saat resmi. Dengan adanya pasal yang mengatur bahasa daerah ini, RUU Kebahasaan berkesan menghambat perkembangan bahasa daerah.

Pada hakikatnya bahasa Indonesia sendiri terbentuk berdasarkan keikutsertaanya bahasa daerah dalam membentuk bahasa Indonesia yang semula adalah bahasa melayu. Jika sudah begini pemerintah seakan seperti kacang lupa pada kulitnya. Hal ini karena bahasa Indonesia merupakan bahasa tingkat nasional yang berasal dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia dan bahasa asing (Menurut Mahmud Jauhari Ali dalam sripsinya yang berjudul Bahasa Indonesia, Film Nasional, dan Generasi Bangsa)

Dalam satu sisi, bahasa daerah merasa memiliki hak untuk berkembang sebagai bentuk pelestarian budaya, seperti kita ketahui jika bangsa Indonesia membanggakan kelestarian budayanya yang beragam. Dengan alasan pelestarian budaya Indonesia, segelintir orang yang mengetahui tentang keberadaan RUU kebahaaan ini menolak adanya RUU Kebahasaan selama masih ada pasal yang mengatur bahasa daerah tersebut.

Di sisi lain, bahasa Indonesia merasa perlu melindungi kelestariannya dan kemurniannya. Hal ini karena saat ini bahasa Indonesia tercampur-campur penggunaanya dan kehilangan pemakaiannya yang sesuai kaidah. Permasalahan ini juga ditanggapi oleh Mahmud Jauhari Ali yang berpendapat bahwa, “Dewasa ini, pemakaian bahasa Indonesia baik dalam kehidupan nyata maupun dalam dunia film mulai bergeser digantikan dengan pemakaian bahasa anak remaja yang dikenal dengan bahasa gaul. Dengan memakai bahasa gaul tersebut, pemakainya akan dikatakan sebagai orang kota yang modern dan bukan orang daerah yang kurang modern. Anggapan seperti ini jelas salah karena bahasa gaul tersebut sebenarnya sangat dekat dengan bahasa Betawi yang merupakan salah satu bahasa daerah di Indoensia”. Dengan anggapan Jauhari tadi menandakan bahwa bahasa daerah adalah salah satu penyebab rusaknya bahasa Indonesia.

Jika sudah seperti ini rasanya memang sesuai jika saya katakan bahwa bahasa daerah dan bahasa Indonesia sedang bertikai. Pada dasarnya hal ini terjadi karena jalannya globalisasi di Indonesia, dan bukankah itu sehat ? Dimana semua mesti berkembang sebagai bukti bahwa pengalaman dan pemikiran manusia sudah mulai bertambah. Untuk menanggapi masalah ini yang diperlukan hanyalah sebuah kedewasaan si pengguna bahasa dimana mereka dapat menempatkan diri dalam penggunaan bahasa dan dapat merasakan cinta tanah air, itu saja.


BETAPA BESAR PENGARUH LEKSIKON MAKNA SESEORANG TERHADAP DUNIA SASTRA

BETAPA BESAR PENGARUH LEKSIKON MAKNA SESEORANG TERHADAP DUNIA SASTRA

Oleh : Bayu Murdiyanto



Apakah anda sadar betapa jeniusnya anda dalam memproduksi bahasa yang nantinya digunakan dalam percakapan sehari-hari? Dalam keadaan normal, manusia memiliki kemampuan yang sangat cepat dalam menanggapi makna kata maupun dalam mengucapkannya sebagai tidakan menanggapi ujaran yang diterima. Hal ini memang menakjubkan karena jumlah kosakata yang dimiliki oleh orang dewasa luar biasa besarnya. Penelitian awal mengenai bahasa Inggris yang dilakukan Seashore dan Eckerton (1940 dalam Aitchison 1994: 5) menunjukan bahwa seorang yang terdidik (minimal dapat membaca dan menulis) dapat mengetahui lebih dari 150.000 kata dan mampu menggunakan 90 % dari jumlah ini. Penelitian yang lebih belakangan menunjukan bahwa mahasiswa Negara Inggris memiliki lebih dari 50.000 kosakata. Kosakata para siswa Amerika untuk membaca diperkirakan sekitar 40.000 dan bisa naik menjadi antara 60.000 sampai 80.000 bila nama diri, nama kota, dan ungkapan idiomatik juga diperhitungkan (Aitchison 1994: 7). Kalau kita ambil saja patokan 60.000, yakni, sisi rendah dari 50.000 dan 80.000, kecepatan orang dapat memahami kata sangatlah luar biasa. Dalam metode Shadowing (yakni, subjek diminta untuk meniru ujaran sambil mendengarkannya) didapati bahwa peniru dapat menirukan dengan selang waktu antara 250-275 milidetik.

Sebenarnya apa yang dimaksud leksikon makna? Dan apa hubungan antara penelitian di atas dengan judul dalam essai ini? Apa pula yang menjadikan leksikon makna begitu penting terhadap dunia sastra?

Leksikon makna dapat diibaratkan gudang dimana kita menyimpan barang. Akan tetapi, gudang ini bukan sembarang gudang karena tidak hanya barangnya yang disimpan itu unik, yakni, kata, akan tetapi cara pengaturannya juga sangat rumit. Kita bisa menemukan barang yang kita cari untuk berbagai macam permintaan yang masuk: permintaan itu bisa berupa bunyi, wujud fisik, wujud grafik, atau hubungan satu “barang” dengan “barang” lain. Seandainya gudang itu berisi barang-barang yang hanya ditaruh saja secara acak, padahal gudang itu berisi 60.000 macam barang, maka dapat dibayangkan bagaimana mungkin kita dapat menemukan apapun yang kita cari – dan dengan cepat.

Penelitian di atas menyatakan bahwa kemampuan manusia untuk mengolah kata baik ketika kata tersebut masih dalam bentuk ujaran lawan tutur kita sampai dipahami dan berubah bentuk menjadi ujaran dari tindakan kita sangatlah cepat walaupun melewati cara yang sangat rumit. Itu artinya kosakata yang kita dapati ketika kita bersentuh sapa dengan seseorang akan bertambah dengan sendirinya tanpa kita sadari dan kosakata yang kita dapati tersebut akan terakumulasi dalam memori kita yang disebut leksikon makna. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin sering kita bersentuhan sapa dengan orang banyak maka kosakata yang kita miliki akan semakin banyak dan tentunya ini akan memperbanyak variasi ujaran yang bisa kita produksi. Sebaliknya bila kita mempersempit jumlah sentuhan sapa kita dengan orang lain atau bisa dikatakan hanya dengan orang yang sama maka kemungkinan untuk banyaknya variasi ujaran akan semakin lambat.

Ini menandakan bahwa leksikon makna menjadi salah satu faktor dalam pembuatan sebuah karya sastra oleh seorang sastrawan. Seperi kita ketahui bahwa seorang sastrawan ketika membuat sebuah karya sastra memerlukan banyak varian kata yang banyak, hal itu dibutuhkan untuk memperindah rangkaian kata yang akan terbentuk nantinya. Dengan kata lain seorang sastrawan membutuhkan leksikon makna yang luas dan memerlukan sentuhan kosakata lebih banyak daripada orang biasa karena mereka harus dapat menyelaraskan banyak variasi kalimat.

Jadi jelas sudah mengapa leksikon makna dibutuhkan oleh seorang sastrawan dan sangat penting bagi dunia sastra.