Sebelumnya saya akan menyampaikan sebuah pernyataan bagi anda yang berkesempatan membaca tulisan saya ini, yaitu:
“Anda berhak membuang, melempar, atau mencaci tulisan ini apabila anda memang benar-benar tidak menyukai argument saya karena pada dasarnya ini hanyalah keresahan yang terasa dalam diri saya”
Pernahkah anda membaca sebuah karya sastra, tapi ketika pertama kalinya anda menghabiskan karya tersebut anda menjadi bingung akan pesan yang hendak disampaikan? Atau pernahkah anda merasa asing dengan karya sastra, karena anda merasa bahwa sebuah karya sastra adalah momok yang menakutkan? Semua pertanyaan itu menjadi keresahan saya, bahwasanya sastra tidak lagi memasyarakat seperti dulu.
Pada periode lampau, atau dimana sastra masih menjadi kegandrungan bagi semua orang, rasanya karya sastra memiliki ruh yang dapat menjadi pengobar semangat. Pernah anda dengar puisi-puisi karya Chairil Anwar? Banyak karyanya yang memberikan ruh tersendiri bagi pembacanya. Contoh lain, keberanian Alm. Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang biasa kita kenal dengan sebutan W.S. Rendra. W.S. Rendra memiliki banyak karya yang mencoba menyindir pemerintahan pada saat itu (sampai akhirnya puisi-puisinya disebut puisi phamplet) dengan gaya bahasa lugas dan apa adanya. Keberanian Rendra melalui karyanya tersebut, memberikan makna semangat yang teramat besar bagi pembacanya.
Saya pikir tidak ada salahnya hal tersebut terjadi. Kecarut-marutan negara pada masa itu membangkitkan para sastrawan untuk bertindak (mencari kebenaran). Mungkin itu merupakan salah satu alasan yang menjadikan karya-karya mereka terasa memiliki ruh yang kuat. Bayangkan, keprihatinan penjajahan baik intern maupun ekstern terasa benar. Banyak ketidakbenaran yang terjadi pada masa itu. Wajar saja jika semua orang waktu itu mencari kesejatian dari kebenaran. Dengan kata lain rasanya karya sastra pada periode lampau itu memiliki alasan yang kuat dalam menulis karyanya untuk dijadikan pesan bagi para pembacanya.
Untuk saat ini, apakah anda sering membaca karya sastra yang dapat menghibur anda? Atau mungkin anda mencari buku-buku sastra hanya untuk menghibur anda tanpa mempedulikan pesan yang ingin disampaikan? Saya sendiri terkadang jenuh melihat tulisan-tulisan yang mengatasnamakan karya sastra namun menjadi tidak berarti bagi saya karena isinya yang memuakan (dalam tanda petik). Maksud saya, tak lain dan tak bukan bahwasanya saat ini karya sastra mulai kehilangan ruh.
Rasanya keberanian sastrawan mulai luntur, atau sebenarnya mereka sudah mulai takut mengeluarkan karyanya yang kontroversi? Di pasaran bebas saat ini memang banyak sekali buku-buku sastra yang menyajikan kontroversi dalam tulisannya. Tapi saya sendiri menganggap kontroversi tersebut menjadi tidak layak karena bobot pesan yang disampaikan sebenarnya lumrah. Penulis-penulis mencoba memasyarakatkan karya sastra dengan menjual konsep menghibur dalam tulisannya, lalu ternyata hal tersebut justru memelintir pemikiran orang dalam ber-argument. Sastra menjadi suatu hal yang biasa, alih-alih sastra tidak harus keras, sastra tidak harus rumit, penulis-penulis menelurkan karya dengan pesan yang lumrah atau seperti perkataan saya, tidak memiliki ruh.
Lalu apakah karya sastra harus berbentuk rumit, keras, dan ortodoks? Saya berpikir permasalahan tersebut hanya ada pada sekitar permasalahan konsep pengaruh dan mempengaruhi saja. Sisi kemanusiaan yang menjadi salah satu ide dalam penulisan karya sastra saat ini memang memiliki perbedaan yang jauh dengan masa lampau. Percaya atau tidak, semangat orang masa lampau melebihi batas normal, bahkan rela mati demi menjunjung harkat dan martabat umum sementara saat ini orang hanya egois dengan pemikirannya sendiri tanpa memperlihatkan usaha mempertahankan harkat dan martabat umum. Jadi wajar jika karya sastra masa lampau memiliki ruh karena para sastrawan memiliki sisi kemanusiaan yang terdesak oleh keadaan zaman. Sedangkan yang terjadi sekarang, sastrawan, penyair, seniman, dan budayawan seakan memuntahkan semua permasalahan umum yang lumrah hanya saja dengan konsep yang dipaksakan menarik. Bagi saya bentuk karya yang semacam itu tidak dapat dikatakan karya yang mempengaruhi pembacanya. Lalu untuk apa dibuat?
Terlepas dari semua itu masyarakat memiliki andil dalam keterpurukan sastra. Banyak masyarakat sudah memiliki paradigma bahwa sastra itu adalah sekedar curahan hati tentang kejadian-kejadian yang biasa. Lambat laun akhirnya sastra murni sudah kehilangan pangsa dan pecintanya, sementara sastra pop justru mendulang untung besar-besaran atas nama sastra. Saya sengaja menyebutkan sastra pop sebagai ulah kemunduran sastra, sebetulnya bukan genrenya yang salah namun konsep dari genre pop itu yang disalahartikan. Sastra tidak lagi memasyarakat seperti paradigma lama, keglobalan menuntut adanya hal baru tapi apakah sekonyong-konyong merusak hal yang sebenranya?
Jika memang sudah seperti ini siapa atau apa yang salah? Kemunduran sastrakah? Atau ketidakpedulian kita sabagai penikmat sastra?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar