Publikasi Harian Riau Pos, 23 Mei 2003
Oleh : Achmad Hidir,
Asal-Mula Munculnya Bahasa.
Asal mula munculnya bahasa dalam kehidupan manusia, sulitlah ditebak kapan waktunya dan bilamana hal itu muncul ?. Sampai saat ini masih teka-teki. Namun para ahli antropologi memiliki keyakinan munculnya bahasa sebagai lambang bunyi yang memiliki arti adalah ketika nenek moyang manusia harus meninggalkan pohon-pohonan dalam hutan ke alam terbuka di savana padang rumput. Dalam lingkungan yang baru ini nenek moyang manusia menghadapi bahaya yang lebih banyak, yang menuntut daya penyesuaian yang lebih dari mereka demi kelangsungan hidupnya.
Konon ketika itu, kawanan kera yang berdiri tegak (pithe-chantropus erectus) itu sudah mulai hidup di tanah dan berkelompok sehingga memunculkan pembagian kerja di antara mereka. Selanjutnya diyakini oleh para antropolog, munculnya bahasa itu seiring dengan mulai beralihnya fungsi rahang dan taring ke arah semakin berfungsinya tangan untuk bekerja, selain itu berfungsinya tangan untuk bekerja mempengaruhi kemampuan otak (cerebrum dan neocortex) yang semakin membesar yang mampu merekam berbagai memori.
Kemampuan merekam memori ini, karena kera yang berdiri tegak itu memiliki keuntungan anatomis yang tidak terdapat pada kera-kera lainnya. Keuntungan yang paling berhubungan langsung dengan kemampuan berbahasa di kemudian hari adalah bentuk rahang yang memungkinkan gerak bibir lebih leluasa, sehingga dengan mulut mereka dapat menimbulkan bunyi yang banyak variasinya. Demikian juga dengan kemampuannya untuk berdiri tegak dengan kaki, telah memungkinkan mereka untuk dapat melihat lebih jauh sehingga mereka dapat menangkap gejala-gejala bahaya dari suatu jarak tertentu.
Selanjutnya kata-kata lisan pertama barangkali bertalian erat dengan suara-suara yang ke luar dari mulut mereka sebagai respon bila mereka melihat bahaya. Melalui peniruan yang mungkin mula-mula tak sengaja, tapi kemudian terus dikembangkan maka kemudian suara-suara itu mulai mengandung arti dan dipakai sebagai isyarat umum.
Proses perkembangan dalam menjadikan suara tertentu sebagai simbol untuk benda-benda tertentu berjalan lambat. Namun sampai taraf tertentu kemudian perkembangannya mengalami percepatan yang luar biasa. Sama halnya dengan yang dialami oleh seorang anak kecil ketika belajar bicara, ketika ia menyadari bahwa segala sesuatunya itu mempunyai nama dan dapat diberi nama, maka kemampuan bahasanya akan meningkat dengan cepat.
Kemampuan berbahasa ini selanjutnya amat memperbesar kemampuan kualitatif otak manusia purba. Secara genetis perkembangan ini tercermin dalam pertumbuhan neo-cortex (otak depan), yang menyebabkan ukuran otak menjadi lebih besar pada manusia-manusia yang lebih maju kemudian Kemampuan berbahasa ini mencerminkan pula kemajuan akan kemampuan manusia untuk mengembangkan budayanya, seni, teknologi, dan lebih daripada itu adalah sosialisasi.
Dari sini kemudian kemajuan tehnologi dan kebudayaan semakin berkembang pesat sehingga meninggalkan taraf kemajuan mahluk lain yang ada. Sebagai dampak adanya satu kemampuan manusia akibat perkembangan bahasa yang ia miliki.
2. Variasi Bahasa dan Bahasa Ibu
Proses persebaran bahasa sangat dipengaruhi dengan proses persebaran ras. Hal ini karena persebaran ras telah menyebabkan perbedaan bahasa karena adanya proses disvergensi yang dipengaruhi oleh alam lingkungan dan isolasi geografis.
Bahwa kemudian manusia menggunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dengan cara tertentu pula adalah secara kebetulan saja dan semuanya bersifat suka-suka (arbitrer). Dengan demikian maka terjadinyalah perbedaan antara bahasa satu dengan bahasa lainnya. Sebagai misal, bulan adalah bulan dan dari dulu bulan itu hanya ada satu di angkasa, tetapi kenapa kemudian manusia memberikan nama yang berbeda-beda untuk benda yang bernama “ bulan “. Sebagai contoh; orang Indonesia menyebutnya Bulan, orang Jawa menyebutnya Wulan, Orang Jepang menyebutnya Tsuki, orang Perancis La lune, orang Inggris The Moon, Orang Jerman Monat dan lain sebagainya. Pada hal obyeknya sama, yaitu sebuah benda planet.
Proses arbitrer dan disvergensi inilah yang lambat laun memberikan andil variasi bahasa dan pembentukan bahasa daerah (suku atau bangsa) di kemudian hari.
Indonesia tercatat sebagai negara kedua yang paling banyak memiliki bahasa ibu setelah Papua New Guinea. Secara total jumlah bahasa ibu di Indonesia ada 706 sedangkan untuk Papua New Guinea sejumlah 867 bahasa ibu. Dari 706 rumpun bahasa ibu yang ada di Indonesia separuhnya berada di Papua (Kompas, 13 Februari 2003). Hal ini wajar sebagaimana diungkap oleh A.F. Tucker (1987) bahwa di pedalaman Irian (Papua) memang banyak sekali variasi subsukunya. Sebagai contoh; untuk orang Sentani saja sukunya terbagi dalam tiga dialek bahasa, yaitu; bahasa Sentani barat, timur dan tengah. Orang Sentani Timur sering juga dikenal dengan orang Hedam. Demikian juga untuk orang Dani, terbagi dalam berbagai subsuku, ada Dani Baliem, Yamo, Toli, dan Sipak yang kesemuanya itu ternyata memiliki variasi bahasa.
3. Kearah Kepunahan Bahasa Ibu.
Diyakini bahwa untuk bahasa-bahasa ibu beberapa tahun ke depan akan semakin punah dan hilang. Menurut data UNESCO setiap tahun ada sepuluh bahasa daerah yang punah. Pada akhir abad 21 ini diperkirakan laju kepunahan akan lebih cepat lagi. Menurut laporan Kompas 13 Februari 2003, diantara 6.000 bahasa yang ada di dunia, hanya akan ada 600-3000 bahasa saja lagi yang ada menjelang akhir abad 21 ini. Dari 6000 bahasa daerah itu, sekitar separuhnya adalah bahasa yang dengan jumlah penuturnya tidak sampai 10.000 orang. Pada hal salah satu syarat lestarinya bahasa adalah jika jumlah penuturnya mencapai 100.000 orang.
Bukti-bukti akan adanya kepunahan bahasa ibu di Indonesia adalah dari jumlah 109 bahasa daerah yang ada, ternyata jumlah penuturnya sudah kurang dari 100.000 orang, misalnya bahasa Tondano (Sulawesi), Ogan (Sumsel), dan Buru (Maluku). Bahkan menurut laporan Kompas November 2002 lalu, melaporkan bahwa untuk jumlah penutur bahasa sunda di Bandung (bukan di Jawa Baratnya) jumlah penutur bahasa sunda menurun jumlahnya. Karena imbas urbanisasi dan banyaknya migrasi masuk multi etnik dan kontak dengan budaya lain. Selain juga ada kecenderungan baru di mana untuk kelas menengah baru sudah enggan menggunakan bahasa daerah yang terkesan kuno.
Bagaimana dengan di Riau ?. Menurut UU Hamidy (1991) jumlah masyarakat terasing di Riau cukup banyak variasinya. Dan masih menurutnya bahwa untuk kasus masyarakat terasing di Indonesia cukup sulit untuk ditaksir, namun jika diperkirakan tahun 1987 ditaksir 1,2 juta jiwa dan setiap keluarga ditaksir ada 4 jiwa, maka diperkirakan jumlah mereka 240.000 KK. Kemudian lagi bila diperkirakan pertumbuhannya 1 % saja pertahun maka dalam tahun 1991 ditaksir akan berjumlah 1,5 juta jiwa (300.000 KK). Lalu bagaimana untuk keadaan tahun 2003 ?. Sejauh ini memang penulis belum memperoleh data untuk itu (mungkin saja datanya sudah ada).
Namun bila mengacu pada teori antropologi, di mana dinyatakan bahwa dalam masyarakat yang cenderung nomad (selain juga karena kemiskinannya) seringkali pertumbuhannya menjadi terhambat dan kadangkala terbawa oleh genetical drift yang kurang menguntungkan sehingga lambat laun populasinya semakin mengecil untuk kemudian akhirnya punah. Contoh untuk kasus itu sudah ada, sebut saja misalnya; orang Ainu di Jepang, Aborigin di Australia atau orang Indian di Amerika yang hampir mendekati kepunahan.
Oleh sebab itu di Indonesia, momentum peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional yang dicanangkan tanggal 21 Februari setiap tahunnya, untuk pertama kalinya turut diperingati berupa pertemuan nasional tanggal 19 Februari 2003 di Jakarta. Momen ini dianggap penting karena para ahli bahasa tampaknya sepakat bahwa bahasa daerah harus dilestarikan secara seimbang dengan bahasa nasional. Karena keberadaan bahasa daerah merupakan ciri jati diri bangsa dan suku yang ada di Indonesia. Selain muatan lokal dalam mata pelajaran yang perlu dikembangkan juga, perlu peran serta keluarga dalam mensosialisasikan pengenalan bahasa ibu dalam usia dini terhadap anak-anaknya.
Diyakini pembekalan dua bahasa (bilingual) atau lebih (multilingual) terhadap anak sejak dini merupakan langkah strategis untuk membentuk pribadi yang toleran dan santun, selain menyelamatkan bahasa daerah dari ancaman kepunahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar