Like This Yo...

Rabu, 20 Mei 2009

ANALISIS PEMBENTUKAN KATA DALAM RUJUKAN NAMA DIRI MAHASISWA SASTRA INDONESIA UNSOED ANGKATAN 2005 Bayu Murdiyanto G1B005021

A. Pengantar 

Nama merupakan cerminan diri. Begitulah yang biasa dikatakan orang tua ketika memberikan nama kepada anaknya. Diharapkan dengan nama yang memiliki arti baik dapat mencerminkan sifat sang anak kelak. Tapi pada dasarnya nama diri seseorang hanya merupakan identitas saja, tidak seperti yang dikatakan di atas. Belum tentu seseorang akan memiliki sifat yang baik ketika mendapat nama yang baik saat ia dilahirkan dan diberikan nama oleh orang tuanya. 

Dewasa ini bahan bacaan tentang daftar nama diri cukup banyak tersedia. Namun demikian masih sedikit dilakukan upaya ke arah deskripsi nama diri sebagai bagian dari struktur gramatikal bahasa (Wibowo, 2001:45). 
Dengan demikian penulis ingin mencoba untuk mengkaji lebih jauh lagi mengenai analisis referen nama diri ini dalam pembentukan kata dengan alasan mencoba mengungkap bahwa nama diri dapat muncul dari peristiwa kebahasaan juga. 
Penelitian ini menggunakan konsep kajian cabang ilmu linguistik yaitu, Morfologi dengan mengambil teori pembentukan kata. Sebuah teori yang membahas mengenai pembentukan sebuah kata dengan menggunakan tiga teori, yakni (1) afiksasi atau pengimbuhan; (2) reduplikasi atau pengulangan; (3) komposisi atau pemajemukan.

B. Penelitian sebelumnya

Penelitian sebelumnya yang membahas nama diri memang banyak, namun penulis mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ridha Mashudi Wibowo dengan judul Nama Diri Etnik Jawa.

Dalam kajiannya Ridha mengkaji pembentukan nama etnik Jawa dengan bertolak ukur kajian gramatikal dan semantik nama diri. Berikut abstrak milik Ridha Mashudi Wibowo :
Dewasa ini bahan bacaan tentang daftar nama diri cukup banyak tersedia . Namun demikian masih sedikit dilakukan upaya ke arah deskripsi nama diri sebagai bagian dari struktur gramatikal bahasa. Beberapa masalah linguistik umum tertentu, seperti sifat semantis nama diri dan kedudukan nama diri terhadap nomina biasa, telah banyak menarik perhatian para ahli linguistik dan juga filsafat (Uhlenbeck, 1982:370). Akan tetapi, dasar empiris bagi pembahasan teoretis tentang masalah ini masih agak sempit dan kurang mantap. Bagi kebanyakan linguis kajian nama diri merupakan bidang penelitian yang tipis dan kurang memberikan harapan sehingga dengan perasaan lega diserahkan kepada ilmu onomastika
Dalam pada itu, yang dimaksud dengan nama diri ialah kata yang dipakai untuk menyebut diri seseorang (Ali dalam Riyadi, 1999:80; conf. Kridalaksana, 1993: 144). Dengan kata lain, nama dapat diartikan sebagai kata yang berfungsi sebagai sebutan untuk menunjukkan orang atau sebagai penanda identitas seseorang. Dipandang dari sudut ilmu bahasa, nama diri merupakan satuan lingual yang dapat disebut sebagai tanda. Tanda merupakan kombinasi dari konsep (petanda) dan bentuk (yang tertulis atau diucapkan) atau penanda (Saussure, 1988:147). Tanda-tanda itu – yang antara lain berupa tanda konvensional yang disebut simbol – memegang peran penting dalam komunikasi (Sudjiman dan Zoest, 1996b:9). Dengan demikian, nama diri selain berfungsi sebagai penanda identitas, juga dapat merupakan simbol, misalnya Teguh ‘teguh/kokoh’ selain merupakan penanda identitas seorang laki-laki, juga merupakan simbol kekuatan. Di samping itu, Palupi ‘teladan’ selain merupakan penanda identitas seorang wanita, juga merupakan simbol keteladanan. Dalam hal ini, mengikuti Uhlenbeck (1982:373-382), nama diri yang semata-mata hanya berfungsi sebagai penanda identitas identik dengan nama diri yang tidak bermotivasi sedangkan nama diri yang berfungsi sebagai simbol identik dengan nama diri yang bermotivasi. Lain daripada itu, Budiwati (2000) menyinggung ihwal kaitan antara nama diri dan acuan/referennya. Secara semantis nama diri dapat berkaitan dengan variable reference (referensi variatif) maupun constant reference (referensi tetap). Artinya, dalam lingkup kalimat semakin pendek nama diri seseorang ditampilkan semakin ia memiliki kecenderungan mempunyai referensi yang bersifat variatif, sedangkan semakin panjang nama seseorang ditampilkan dalam kalimat semakin ia memiliki kecenderungan mempunyai referensi yang bersifat tetap . Berkaitan dengan hal itu, Ryle (dalam Wasiyati, 2000:8) menyatakan bahwa nama memiliki referen tetapi tidak memiliki makna. Arti simbolik nama dan kata lain dibangun oleh konvensi yang khusus untuk budaya tertentu. Ditegaskannya pula bahwa kamus tidak mengungkapkan arti nama-nama dengan alasan sederhana, yakni karena nama tak berarti apa-apa.

C. Analisis Nama Arbitrer

Pada kasus ini akan ada pengelompokan nama dengan pembentukan arbiter. Nama seseorang bisa dikelompokan dalam bentuk arbiter apabila struktur pemaknaannya kurang jelas atau dengan faktor lain, karena memang banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Dalam bentuk penamaan jawa akan banyak sekali kita temukan penamaan yang digolongkan dalam bentuk arbitrer. Misalkan, nama seorang peranakan jawa dapat diindikasikan arbitrer apabila diakhiri dengan akhiran –em atau –en dengan memenuhi formulasi vokal a-i-e, misalnya Barikem, Saliyem, Daminten, Jaminten (Wibowo, 2001:49). Dalam bentuk akhiran -an dan –in dapat kita temui, misalnya tajiman, sajidin, baridin, paiman, wakiman dengan formulasi a-i-a. Nama-nama ini secara kuantitatif banyak kita temui, namun nama berfomulasi e-i-i akan sangat jarang kita jumpai, semisal, Jemidin, Sekimin.

Dalam penamaan sunda juga terjadi kearbitreran. Unsur penamaan yang digunakan adalah padanan bunyi yang memiliki kemiripan atau engabument, misalnya Dadang, Maman, Dede, Deden, Jaja, Jajang. Pembentukan yang lebih panjang dengan melakukan pengulangan unsur satuan kata (dalam nama bermorfem dua atau lebih) berdasarkan unsur bunyi juga, misalnya Dadang Endang Surandang, Jaja Suraja, Nana Sunarya. Nama-nama tersebut rata-rata memiliki formulasi a-a-a atau berakhiran fonem mati.

D. Analisis Nama Nonarbitrer

Bentuk nama-nama ini dikelompokan ke dalam bentuk nonarbitrer dimungkinkan karena berasal dari suatu leksikon tertentu, baik dalam satu silabel atau kata maupun lebih. Bentuk yang mungkin bisa dianalisis adalah apabila memiliki runtutan, misalkan Ardiman atau Ardinem. Keduanya berdasarkan dari kata asal yang sama yaitu ardi yang berarti gunung hanya saja memiliki pemarkah yang berbeda, -man untuk laki dan –nem untuk wanita.atau dalam kasus lain terjadi dalam leksikon yang sama namun merubah fonem terkhir sebagai penanda markah tertentu tanpa memberikan tambahan imbuhan, misalkan Yatno atau Yatni. Yatno berasal dari kata Yatna (jawa Kuno) yang berarti waspada dengan markah /o/ untuk laki-laki dan /i/ untuk wanita Dalam nama nonarbitrer kita juga dapat menemukan runtutan bunyi, misalkan Tri Januri Ariri, Sujiwo Tejo, Harjo Sugianto. Ketiganya memiliki runtutan bunyi pada ujung morfemnya. Tri yang berarti tiga, Januri (diambil dari bahasa sansekreta) yang berarti bulan Januari, Ariri yang berarti hari ke tiga; nama ini memiliki formulasi i-i-i. Sujiwo yang berarti satu jiwa, tejo berasal dari teja (bahasa Jawa Kawi) yang berarti cahaya; nama ini memiliki formulasi o-o. Harjo yang berasal dari kata harja (bahasa Jawa Kawi) yang berarti selamat, Sugianto yang berasal dari kata sugih atau kaya dan anta atau ananta yang berarti tanpa batas (bahasa Jawa Kawi); nama ini memiliki formulasi o-o.


E. Penutup

Secara umum Chaer, (1995:43-52) menyatakan bahwa penamaan merupakan proses perlambangan suatu konsep untuk mengacu pada suatu referen yang berada di luar bahasa. Nama diri pada hakikatnya tidak memiliki makna ketika bentukan kata yang terjadi sudah menjadi hasil. Dengan kata lain yang memiliki makna adalah referen atau rujukannya bukan nama diri itu sendiri. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Ryle (dalam Wasiyati, 2000:8) yang menyatakan bahwa nama memiliki referen tetapi tidak memiliki makna.

Pembentukan kata pada sebuah kelas bahasa pada akhirnya memang dapat menentukan makna. Dapat dikatakan pembentukan kata pada sebuah nama dapat membedakan makna nama seseorang. Namun penelitian ini pada akhirnya hanya mengkaji pembentukan kata dalam rujukan nama diri seseorang.  
Pembahasan makalah ini akan menggunakan dua tahapan komponen, pertama, dilihat melalui pemenggalan perkata dan kedua melalui susunan per morfem atau susunan gramatikalnya untuk menemukan pembentukan kata dalam nama tersebut. makalah kajian nama sendiri merupakan kajian yang sudah sering dibahas dalam penelitian - penelitian lain sehingga akan banyak sekali jenis kajiannya dipandang dari berbagai sisi.

Cukup banyaknya penelitian mengenai makna ini membuat peneliti sadar bahwa biar bagaimanapun makalah ini membutuhkan makalah lanjutan yang lebih sempurna, minimal penambahan teori. Hal tersebut disebabkan karena pemerolehan bahasa seseorang untuk dapat menimbulkan sebuah nama diri dapat dipengaruhi melalui banyak cara. Misalkan, bahwasanya pemilihan kata melalui fonem seperti terjadi pada nama – nama Sunda, umpamanya Dadang Surandang. Hal lain terjadi pula pada nama diri etnik Jawa yang mempertimbangkan adanya nama kecil dan nama dewasa.

F. Daftar Pustaka

Arief, Nurhaeni. 2008. Pilihan Nama-nama Terbaik Putra-putri Anda. Yogyakarta: Dianloka.

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Subandi, dkk. 2005. Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.

Wasiyati, Kristina. 2000. Referensi, Makna, dan Denotasi. (makalah). Belum diterbitkan. 

Wibowo, R.M. 2001. “Nama Diri Etnik Jawa”, Humaniora Volume XIII No. 1. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 

2 komentar:

XX mengatakan...

ini penelitian y mas?

Ubay Gibet mengatakan...

yoa mas, tapi baru proposal