Like This Yo...

Selasa, 02 Februari 2010

Esai: Dwiana Jati Setiaji

Sebagai seorang sastrawan, Sapardi Djoko Damono lebih dikenal sebagai seorang penyair ketimbang seorang cerpenis. Ini terbukti dari sekian banyak karya yang dibuatnya adalah kebanyakan berupa puisi. Salah satu puisinya yang sangat terkenal adalah yang berjudul Aku Ingin dan Mata Pisau. Namun, bukan berarti semua karyanya adalah puisi. Buku kumpulan cerpen Membunuh Orang Gila terbitan Kompas sudah banyak beredar di masyarakat sejak 2003, Fiksi Pengarang Telah Mati,2001; Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida dan Sihir Rendra: permainan Makna, dua buku esai di tahun 1999 dan yang lainnya. Selain itu juga ada menerjemahkan novel seperti; Novel Without a Name (Novel tanpa nama) karya Trong Du Huong.
Salah satu yang ingin saya bahas adalah cerpennya yang berjudul Testamen sebagaimana telah saya tulisulangkan di depan. Sapardi mengambil sudut pandang "keakuan" dalam cerpen ini untuk sudut pandang pelakon utama. Testamen sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti: Wasiat. Testamen bercerita tentang roh si Aku yang sudah meninggal dan sedang bersama dengan seekor anjing yang telah beberapa lama menghabiskan waktu bersama semasa si Aku masih hidup. Kata hati yang berisi ucapan terima kasih dan penyampaian isi hati dari si Aku pada anjing kampung, "Terima kasih, kau telah membantuku menyelesaikan tugasku di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Aku hanya bisa mewariskan diriku sendiri bagimu" kemudian si Aku sempat menilik "kerudung nostalgia" (kata penyair Kahlil Gibran) dimana mereka menghabiskan waktu dan berbagi makanan, pada kalimat berikutnya.

Seorang yang oleh kebanyakan orang menyebutnya sebagai seorang gelandangan atau lebih halusnya lagi,Tuna Wisma. Si Tokoh sendiri lebih menganggap dirinya sebagai sang Kelana, sebagaimana dikatakan; "Kau tahu, mereka menyebutku gelandangan sedangkan aku lebih suka menganggap diriku sendiri sebagai sang Kelana, orang bebas yang tak terikat oleh apa pun dan tak memiliki apa pun, yang setiap hari keluar masuk kampung." disini, di cerpen ini seakan-akan terjadi dialog padahal sebenarnya hanya sepihak karena tidak dibalas dan bahkan dia, si Aku,menurut saya juga tidak berharap ditanggapi oleh si anjing atau apapun yang dianggap oleh "aku" sebagai seekor anjing.

Lalu ceritanya kepada si Anjing berlanjut, dulu pada saat ajal memberi indikasi-indikasi hendak menjemput, tokoh utama kita, sang pencerita, mencari tempat yang akan menjadi tempat terakhirnya sebagai tempatnya menyambut maut. Dia memilih tempat yang enak dan nyaman, "Dan pada suatu hari ketika sudah merasa begitu capek, aku mencari suatu tempat yang teduh dan tenang di pinggir kota". Kata "Begitu capek" oleh tokoh pemrakarsa penerbitan Jurnal Puisi ini diibaratkan sebagai keadaan dimana dia, si Aku, sudah berada di ujung ajal dan "teduh dan tenang di pinggir kota" di maksudkan sebagai tempat terbaik dan nyaman yang dapat dia dapatkan untuk menunggu kematiannya.

Sebagai seorang penyair, Doktor dan Guru besar UI ini menggunakan bahasa-bahasa yang kental akan poetica,seperti ketika menyebutkan kematian si "aku"dengan kata "aku melepaskan diri dari diriku sendiri", diksi yang digunakan sangat apik dan membuat pembaca seakan sedang membaca puisi. Kentalnya nuansa kepuisian dalam bahasa yang dipakai Sapardi menjadikan cerpen ini berasa ambigu. Mungkin inilah keistimewaan cerita pendek yang ditulis oleh seorang sastrawan yang dalam proses kreatifnya lebih dikenal sebagai penyair dan bukan seorang sastrawan cerpenis. Sapardi mencoba menghadirkan "puisi" dalam kalimat-kalimat prosais. Atau sebaliknya, kisah-kisah "prosais"-nya dihidangkan lewat rangkaian kalimat-kalimat puitik.

Cerpen adalah sisi lain dari hasil kerja kreatif Sapardi Djoko Damono, yang oleh Seno Gumira Ajidarma disebut sebagai bagian dari perjalanan sang Penyelam Kata-Kata. Lewat kata-kata dalam karyanya, Sapardi bisa mempermainkan logika dengan amat piawai. Lebih dari itu, Sapardi telah membuktikan bahwa kesederhanaan masih tetap sesuatu yang indah, dan keindahan itu abadi. Memang, dari beberapa cerpen karya alumni Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada ini yang telah saya baca; Dongeng kancil, Batu di Pekarangan Rumah, Bingkisan Lebaran, Dalam Lift, Ditunggu Dogot, Hikayat Ken Arok, Jalan Lurus, Ketika Gerimis Jatuh, Membaca Konsultasi Psikologi, Membimbing Anak Buta, Membunuh Orang Gila, Ratapan Anak Tiri, Rumah-Rumah, Sarang Angin, Sepasang Sepatu Tua, Suatu Hari di Bulan Desember 2002, Tembang Zaman, dan tentu saja Testamen, hampir, bahkan semuanya bercerita tentang hal-hal yang sangat sederhana, yang oleh banyak sastrawan dianggap terlalu sepele untuk diangkat. Tetapi dengan kepiawaiannya, sastrawan kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini bisa menunjukkan keindahan dibalik kesederhanaan itu, tengok saja cerpen lainnya yang berjudul Batu di Pekarangan Rumah, temanya sangat sederhana yaitu menceritakan tentang sebuah batu di pekarangan rumahnya. Semoga penjelasan diatas dapat menjelaskan kenapa cerpen orang yang sejak 1973 menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia sekaligus ketua redaksi majalah sastra Horison, begitu terasa indah dan puitik.

Kembali ke Testamen, si Aku merasa senang karena Anjing itu setia mengikuti dan mau menungguinya sampai mulai membusuk. Si Aku merasa senang karena bisa memberikan dirinya, jasadnya, sebagai warisan kepada si anjing dan si Aku benar-benar merasa ikhlas sama sekali tubuhnya di makan dan dikoyak-koyak yang menurut pandangan si Aku sangat indah dan bukan sadisme; "Kemudian dengan cara yang tak terbayangkan indahnya kau mulai menyobek-nyobek jasadku sampai tinggal tulang dan tengkorak yang tak lagi menimbulkan seleramu. Aku senang masih bisa mewariskan sesuatu bagimu ". Pada bagian ini, bagian dimana aku melepaskan diri dari diriku sendiri, si Aku telah mati dan rohnya melihat jasadnya sedang "dinikmati" si Anjing. Ikhlasnya si Aku mungkin karena kebaikan dan kesetiaan si anjing sehingga sebagai balasan, dia mengikhlaskan jasadnya atau mungkin pula karena alasan lain, karena si aku yang sudah mati itu tak mementingkan lagi masalah jasad dan demi "kehewanan" dan kebaikan maka diikhlaskannya jasad yang sudah tidak berguna itu, atau mungkin juga ketika menuju Nirwana dia tidak boleh masuk karena tidak pernah berguna bagi makhluk lain. Dengan dimakannya jasadnya untuk mengisi perut si Anjing maka dia menjadi berguna bagi si Anjing. Ambigu, dan semua itu sah-sah saja karena siapapun boleh mengartikan sebuah karya sastra menurut cara pikirnya masing-masing asal ada argumennya, dan bukankah perbedaan itu indah?.

Ambigu berarti bisa bermakna lebih dari satu. Seperti yang telah saya tuliskan di atas, cerpen Sapardi memberi kesan ambigu dalam pemaknaan temanya. Sebagai seorang penyair, sangat mungkin sekali kalau Sapardi menggunakan hak Licentia Poeticnya untuk menyembunyikan tema atau cerita aslinya. Bila dilihat dari sisi lain maka akan bisa dikaitkan dengan berbagai hal. Misalnya dengan politik. Secara sepintas, apa hubungan anjing, gelandangan, dan kematian dengan politik? Demikian banyak orang akan berpikir. Sastrawan biasa melihat sesuatu dari sisi lainnya dan bukan tidak mungkin Sapardi mencoba melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.

Bahas bagian cerita. Sebelumnya alangkah baiknya jika hal-hal yang menunjukkan ambiguitas dipertanyakan. Apakah si Anjing adalah seekor "hewan" anjing?, Apa tugasnya si Aku benar-benar "itu" (berguna bagi sesuatu yang lain) ?, Siapakah si Aku?, Apa benar-benar seorang gelandangan (sang Kelana)? apakah si aku sudah mati atau belum?apakah benar-benar ada dua tokoh atau *****a pergulatan batin seseorang saja?. Banyak lagi yang bisa dipertanyakan

Pesan yang dapat diambil dari cerpen ini adalah bahwa dalam menjalani hidup itu harus ikhlas, tabah dan positive thinking. Anjing bagaimanapun setianya pada manusia pasti akan menggigit.

Bila saya kaji dari sudut pandang yang lain, maka menurut saya akan menjadi seperti ini; alurnya saya pikir tetap sama, alur mundur dan termasuk juga dalam cerita berbingkai, cerita di dalam cerita. Si aku menceritakan pengalaman hidupnya. Setting, kalau versi awal berada di antah berantah, semak-semak sunyi di pinggir kota,perkampungan dan pedesaan, tapi yang versi yang lain mungkin akan berbeda karena tidak semua orang punya pendapat yang sama.

Makna dan isi cerita yang telah saya uraikan di atas bisa dikatakan adalah pendapat sekilas saya yang diamini beberapa teman yang saya ajak berdiskusi karena dianggap masuk akal dan diterima. Sebagai orang sastra, saya berusaha melihat sisi lain dari cerpen ini yang mungkin merupakan hasil imajinasi paling tinggi dari pengarangnya. Menurut saya (dari pemikiran yang lain) ini bukan ceritanya orang mati tetapi lebih mirip sebuah surat dari seorang perempuan (si Aku) kepada seoran pemuda (si Anjing).


"Anjing kampung yang baik", anjing kampung adalah sebutan si Aku, si perempuan, kepada sang pemuda.
"Terima kasih, kau telah membantuku menyelesaikan tugasku di dunia ini dengan sebaik-baiknya". Maksud dari kalimat ini adalah ucapan terima kasih karena telah menjadikan si aku menjadi seorang ibu.

"Aku hanya bisa mewariskan diriku sendiri bagimu". keperawanannya.

"Kita dulu suka berbagi makanan jika hari sedang baik". Kata "Makanan" dalam kalimat ini berarti berbagi kasih. "Kau tahu, mereka menyebutku gelandangan sedangkan aku lebih suka menganggap diriku sendiri sebagai sang Kelana, orang bebas yang tak terikat oleh apa pun dan tak memiliki apa pun, yang setiap hari keluar masuk kampung". Kalimat itu berarti bahwa Si Aku sering dipanggil sebagai Perempuan Nakal, sedangkan si Aku sendiri menganggap dirinya adalah sang Kelana (tetap), yang bebas tak terikat dan bisa melakukan apa saja dengan bebas yang setiap hari keluar masuk diskotik.

"Dan pada suatu hari ketika sudah merasa begitu capek, aku mencari suatu tempat yang teduh dan tenang dipinggir kota---" dan ketika sudah bosan dengan segala petualangan itu maka si aku mencari laki-laki yang bisa menerimanya apa adanya dan bisa dijadikannya berlindung.

"---dan yang kulihat kau mengikutiku". Maksudnya adalah si Anjing. "Aku merasa bahagia sebab ternyata ada yang masih bisa setia padaku". Masih tetap setia walaupun pernah diduakan, bahkan dipersekiankan. "Kau menatapku tajam ketika aku membaringkan diriku disela-sela sunyi semak-semak; kau tampak terpesona menyaksikan aku menutup mataku;". Maksudnya adalah si Aku memberi lampu hijau kepada si pemuda untuk mendekati dirinya. "kau melolong pelan ketika kemudian aku melepaskan diri dari diriku sendiri". Melihat si Aku orgasme.

"Lalu kau diam, mungkin memikirkan sesuatu, dan tetap menungguiku sampai aku mulai membusuk". Menunggu sampai hasratnya si Aku kembali muncul.

"Tatapanmu mengingatkanku pada hari-hari baik ketika dulu kita bisa berbagi makanan". Berbagi kasih sewaktu dulu.

" Kemudian dengan cara yang tak terbayangkan indahnya kau mulai menyobek-nyobek jasadku sampai tinggal tulang dan tengkorak yang tak lagi menimbulkan seleramu". Kembali persetubuhan berlangsung dahsyat sampai keduanya lemas.(tak lagi menimbulkan selera) yang dengan kata-kata yang sangat dahsyat dapat membuat cerita ini tidak berkesan vulgar, sama sekali tidak ada kesan kesan pornografi.

"Aku senang masih bisa mewariskan sesuatu bagimu. Keperawanan", dan juga... anak.

"Terima kasih, kau telah membantu menyelesaikan tugasku di dunia dengan sebaik-baiknya". Menjadi seorang wanita sesungguhnya.

Sebenarnya saya ragu dengan cara pikir ini karena terlalu memaksakan dan saya kebingngungan sendiri menggabungkan kalimat satu dengan kalimat yang lainnya. Termasuk masalah pesan moral yang dapat diambil dari cerpen ini, saya merasa kebingungan. Tidak hanya di cerpen ini, ide cerpen yan sederhana dan cenderung singkat membuat pembaca, seperti saya merasa kebingungan dalam menentukan amanat dan mungkin ini adalah salah satu kelemahandari cerpen ini. Memang cerpen-cerpen Sapardi singkat tetapi padat dengan kata-kata berbobot. Salah satu ciri khas Sapardi sang Penyair yang bisa saya temukan di cerpennya.

ỏỔỏ
Dwiana Jati Setiaji, Lahir di Banjarnegara, 21 April 1986. Pemimpin redaksi buletin sastra kakawin, pendiri Komunitas SALAM (Sastra Alam). Aktif di teater teksas. karya pernah di muat di majalah Bobo, Buletin sastra DIKSI, lembar sastra Wedang Kendhi, Buku Tarian Kata (cerpen), Buku Kumpulan Naskah Monolog Orang-Orang Tak Terkenal (Naskah Drama). Bukunya, kumpulan puisi dan cerpen Desiree; dia yang dirindukan. Mahasiswa Sastra Indonesia UNSOED. Hp. 085227370585

Tidak ada komentar: